BANDARA
Cerpen:
Rizki Aldea
Pagi
ini hujan deras, seperti mengerti bahwa hatiku pun ikut menangis. Butiran air
menempel di kaca-kaca mobil yang hendak menghantar kami. Tangannya masih erat
menggenggam jemari-jemariku. Bandara terbesar di Asia tenggara menjadi saksi
nyata perpisahan antara aku dan Epan. Lelaki yang baru kukenal lewat salah satu
sosial media.
Cuti
tiga hari membuatnya sibuk untuk mempersiapkan pertemuan pertama denganku,
setelah menyelesaikan pekerjaaan di kantor lalu terbang untuk menepati salah
satu janjinya denganku, ia janji untuk menjumpaiku.
***
Dua
bulan setelah kami berkenalan dan menjalin hubungan awan yang belum berjumpa
aku berani mengiyakan saat ia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku yang
berprofesi sebagai mahasiswa tidak memiliki banyak waktu untuk setiap saat
menemaninya berchatingan, begitupun dia yang sedang berkuliah dan juga bekerja,
jadi diantara kami tidak ada paksaan untuk berhubungan setiap saat. Kesibukan
kami membuat kami yakin bahwa kesibukan ini tidak akan menjadi sia-sia.
“Sayang,
jam 11:10 aku sampai bandara, dari bandara aku ke stasiun jadi kamu jemput di
stasiun saja.” Ujarnya dibalik ponselku.
“Iya
aku tunggu di stasiun.” Jawabku datar.
“See
you.. “
***
Sudah
hampir dua jam aku menunggunya di stasiun, pesan-pesanku pun tidak dibacanya.
Kulihat ada banyak sekali orang yang berlalu-lalang lalu pecah dalam tawa
setelah berjumpa dengan orang yang di tunggunya. Sedangkan aku masih menikmati
segelas kopi yang kupesan di caffe ini.
Kulirik
kembali arlojiku, satu kurang seperempat menit sudah, setelah mendengar azan
zuhur berkumandang. Tiba-tiba salah seorang pelayan caffe menyapaku yang sibuk
dengan handphone dan novelku.
“Maaf
mbak nunggu kereta keberangkatan jam berapa ya?” tanyanya padaku
“Oh
engga mas, saya menunggu temen nih dari bandara, kira-kira kereta sampai jam
berapa ya mas?”
“Oh
nunggu teman mbak, ntar pacar hehe. Maaf mbak saya becanda, seharusnya sih jam
11:55. “ diliriknya arloji hitam.
“Oh
gituya, terima kasih ya mas.“ lalu kualihkan pandanganku kearah ponselku dan
tiba-tiba berdering panggilan masuk dari epan.
“Hallo
sayang dimana? Aku udah di depan gerbang nih.”
Astaga,
tiba-tiba jantungku berdetak dua kali cepat dari biasanya.
“Aaaku
di caffe sebelah gerbang tiket nih sayang.“ jawabku gugup, karena ini adalah
pertemuan pertamaku dengannya. Tanpa ku sadari pelayan caffe memperhatikanku
lalu mencoba untuk membully ku, tiba-tiba dia menyentuh lembut bahuku. Dengan
sepontan aku bangkit dari tempat duduk.
“Eh
mas jangan kurang ajar nyentuh-nyentuh....”
Belum
sempat aku selesaikan perkataanku ternyata yang menyentuhku adalah lelaki yang
kutunggu. Wajahnya tidak asing terbang di dalam fikiranku, bukan sekali dua
kali aku menatapnya berjam-jam di depan layar ponselku ketika sedang melakukan
video call. Epan, entah gerangan apa dia bisa langsung dapat menemuiku, padahal
ini hari pertamanya berada di Medan dan menemuiku.
“Maafya
sayang kamu lama nunggu, tadi aku sholat sebentar jadi agak lama hehe.”
“Oh
iya gapapa, kirain kamu tadi nyasar.“
***
Setelah
lama berjalan keliling Kota Medan dengan taksi online yang kami pesan dia memintaku untuk mengenalkan beberapa
tempat wisata yang lumayan terkenal untuk menjadi ...... di Medan. Beberapa
tempat yang kami kunjungi adalah Istana Maimoon dan Mesjid Raya, serta kuliner yang
tidak jauh dari tempat yang kami kunjungi.
“Ternyata
orang Medan tidak seperti yang mas bayangkan ya?“ ucapnya sambil mengunyah sate
Wak Saleh.
“Emang
apa yang mas fikirkan tentang Medan?” Ujarku datar.
“Mas
kira orang Medan kasar dengan logatnya yang keras, ternyata orang Medan itu
juga lembut seperti orang-orang di Pulau Jawa sana.“ ujarnya.
“Lah,
emang aku lembut mas?”
“Iya,
Adek lembut kok tidak seperti biasanya jika menelpon mas yang suka
bentak-bentak. Hehe”
“Aduh,
ya itu lain lah mas. Ini karena baru pertama kali jumpa aku lembut, kalau udah
lama-lama pasti aku kasar. Haha” jawabku diiringi ketawa yang lumayan cukup
kuat.
“Iya
dek, jadikan dek setelah dari sini kita kerumah adek, sudah tidak sabar mas
bertemu kedua orang tua adek.“
“Iyaa
mas, jadi kok. Selesai makan ya.”
“Ya
iyalah masa sambil makan kita jalannya,”
***
Selesai
menghabiskan makanan akupun memesan taksi online yang bertujuan ke rumahku, di
perjalanan kami saling bercanda dan tertawa. Kedekatan kam sudah mulai membaur
dengan adanya topik yang pas untuk dibahas. Tidak hanya candaan saja sekadar
selfie bersama kami lakukan jika ada kesempatan waktu.
Waktu
tidak terasa kami telah sampai di rumahku. Rasa malu dan cemaspun bercampur
aduk menjadi satu di hatiku. Aku mulai gelisah ketika kulihat ayah ada di
rumah. Bagaimana ini apa yang harus kukatakan terlebih dahulu kepada ayahku,
karena aku tak pernah berani untuk menceritakan hubungan jarak jauhku ini
kepadanya.
“Assalamuallaikum
mak,” ujarku membuka pagar rumahku. “Maafya mak dea lama baliknya. Ayo masuk
mas.” Kupanggil epan yang masih beraada dibelakangku.
“Assalamuallaikum
tante.” Epan langsung masuk dan menyium punggung telapak tangan ibuku.
“Oh
ini yang namanya epan.” Ungkap ibuku.
“Hehe
iya tante.” Jawabnya singkat.
“Lah
kok lama kali? Apa tadi keluar duluya de?” tanya ibuku.
“Iya
mak, tadi kami keluar dulu baru kesini soalnya besok pagi mas epan sudah balik
ke jogja, takut gak sempat untuk menikmati Medan.” Jawabku singkat untuk
menjelaskan semuanya kepada ibu.
“Loh,
besok sudah balik toh. Yasudah sebentar ya mamak buat teh dulu.” Lalu ibuku
segera beranjak meninggalkanku dan epan di ruang tamu.
Sebenarnya
ibuku mengetahui sedikit tentang dia, bagaimana mungkin aku tak menceritakannya
sebab setiap kejadian yang kualami ibuku berhak dan wajib mengetahuinya,
meskipun tak secara terang-terangan aku menggungkapkan bahwa kami sedang
berpacaran. Aku berharap setelah penantianku ini akan membuahi hasil dalam
hubungan yang serius. Sebab aku terlalu lelah untuk melabuh kehati yang salah.
Epan
berusia lebih tua 9 tahun dariku, itulah salah satu alasanku mau untuk menjalin
hubungan dengannya. Tidak hanya dewasa dari segi usia, dia juga telah
menyelesaikan Magisternya di salah satu Universitas ternama di Jakarta, saat
ini dia sedang bekerja disalah satu perusahan swasta di Jakarta. Orang tuanya
bertempat di di Jogja, maka dari itu, dia juga sedang berjauhan dengan
keluarganya.
Aku
hanya mengenal keluarganya dari obrolan kami lewat ponsel, sebab dari itu kami
sudah merencanakan bahwa setelah dia menjumpai keluargaku aku akan bergantian
untuk mengunjungi keluarganya. Betapa besarnya pengorbananku untuk mematahkan
opini orang tentang kesetiaan perempuan yang menjalankan hubungan jarak jauh. Mereka
bilang bahwa semua perempuan tidak bisa menyetiakan diri untuk satu lelaki. Dan
aku akan membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang bisa menyetiakan hati.
Sebab banyak jarak yang tak dapat kulipat dengannya, aku sedang menunggu waktu
yang pas untuk memberikan seluruh hatiku kepadanya pada saat yang tepat nanti.
***
Subuh
masih terngiang di telingaku, jam dinding menunjukkan pukul lima lewat tiga
puluh menit, masih sangat sempat sholat pikirku. Kulangkahkan kaki menuju kamar
mandi untuk mandi dan melanjutkan kewajibanku untuk bersyukur kembali kepada
allah. Untuk nikmat yang satu ini tak lepas bibirku dari lafaz syukron.
Pagi
ini aku akan mengantar epan ke bandara untuk kembali pulang. Sudah dari tadi
malam dia kembali ke hotel tempatnya menginap, kami berjanjian untuk bertemu di
stasiun agar ke bandara mengendarai kereta api. Di taksi aku tak dapat menahan
rasa rinduku untuknya, padahal semalam kami habiskan waktu untuk bersama.
Mengapa dengan hatiku, aku tak rela untuk membiarkannya pergi dari pandanganku.
Air mataku terus mengalir di sela-sela pipiku.
Kutatarkan
hatiku agar bersabar bahwa 3 tahun bukanlah waktu yang lama jika dijalankan
dengan keikhlasan. Aku takut bagaimana jika epan disana mengkhianati hatiku,
atau ada kejadian lain yang membuat kami pisah. Sudah ah entahlah aku tak
mengerti mengapa fikiranku sebocah ini.
“Turun
di gerbang berapa mbak?” lamunanku terhenti ketika kulihat bahwa taksi yang
mengantarku sudah sampai stasiun kereta api.
“Turun
di sini aja pak,” lalu aku memberikan uang untuk membayar nominal tagihanku.
“Kembaliannya untuk bapak saja.” Lanjutku dan lalu turun dari mobil.
“Terimakasih
mbak.” Lalu supir taksi itu pergi.
***
Kringgg ponselku bergetar
“Hallo,
Mas dimana?”
“Mas
di ruang tunggu, segera kesini waktu tinggal 15 menit lagi, mas jemput di
gerbangya tiket dengan mas.” Lalu aku menyegerakan langkah agar sampai di
lantai dua tempat dimana kereta api jalur bandara.
Setibanya
kami dibangku kereta api, dia memberikanku sebuah kotak kecil dan aku sama
sekali tidak tahu apa isinya sebab dia memberikannya dan lalu menyuruhnya agar
kusimpan kedalam tas.
“Nanti
buka setelah mas kabarin bahwa mas sampai jakarta.” Ucapnya singkat.
Air mataku masih mengalir deras setelah epan mencium
kedua punggung tanganku di pembatas pintu gerbang. Hanya satu pesannya yang
membuatku kuat, “Jangan menangis, inshallah bulan depan mas ke Medan.” Kulihat
dari jauh, bayangannya hilang didalam keramaian.
***
Kupandangi
kotak kecil pemberiannya yang hampir setahun ini masih tetap kujaga seperti
awal dia memberikan kepadaku. Bahkan sampai sekarang tidak lagi kudengar dering
ponselku pertanda pesan masuk darinya. Kini aku lumpuh setelah kepergiannya.
Separuh hatiku masih menunggunya kembali untuk menjemputku dengan semua janji
yang telah dititipkannya untukku.
Setelah
perjumpaan kami yang pertama dan terakhir itu aku mulai mentatihkan hatiku
sendirian, sama seperti saat aku sebelum kenal dengannya. Kehilangan mulai
menyapaku kembali, bahkan untuk sekedar menghubunginya saja tidak pernah ada
jawaban. Banyak pertanyaan setelah ini.
Kupandang
kotak ini untuk kesekian kalinya, mau sampai kapan aku akan tetap menunggu
kabarnya hanya untuk memastikan bahwa kotak ini memang jawaban dari semua
pertanyaanku. perlahan kubuka piita hitam yang mengkait antara kotak ini dan
penutupnya, setelah kubuka ternyata isinya cincin emas yang simple dan sebuah
surat yang bertuliskan dengan kertas berwarna hitam dengan tinta biru. Kubaca
dengan pasih kata-perkata yang dituliskannya didalam surat tersebut. Seketika
kotak yang kugenggam beserta isinyaa tumpah ruanh bersama air mataku.
Penulis adalah mahasiswa semester
III pendidikan bahasa dan sastra indonesia UMSU aktif di komunitas sastra
KESPERA MEDAN. Penyuka kopi dan segala cuaca.
Comments