Skip to main content

Cerpen BANDARA 7 januari 2018



BANDARA
Cerpen: Rizki Aldea

Pagi ini hujan deras, seperti mengerti bahwa hatiku pun ikut menangis. Butiran air menempel di kaca-kaca mobil yang hendak menghantar kami. Tangannya masih erat menggenggam jemari-jemariku. Bandara terbesar di Asia tenggara menjadi saksi nyata perpisahan antara aku dan Epan. Lelaki yang baru kukenal lewat salah satu sosial media.
Cuti tiga hari membuatnya sibuk untuk mempersiapkan pertemuan pertama denganku, setelah menyelesaikan pekerjaaan di kantor lalu terbang untuk menepati salah satu janjinya denganku, ia janji untuk menjumpaiku.
***
Dua bulan setelah kami berkenalan dan menjalin hubungan awan yang belum berjumpa aku berani mengiyakan saat ia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku yang berprofesi sebagai mahasiswa tidak memiliki banyak waktu untuk setiap saat menemaninya berchatingan, begitupun dia yang sedang berkuliah dan juga bekerja, jadi diantara kami tidak ada paksaan untuk berhubungan setiap saat. Kesibukan kami membuat kami yakin bahwa kesibukan ini tidak akan menjadi sia-sia.
“Sayang, jam 11:10 aku sampai bandara, dari bandara aku ke stasiun jadi kamu jemput di stasiun saja.” Ujarnya dibalik ponselku.
“Iya aku tunggu di stasiun.” Jawabku datar.
“See you.. “
***
Sudah hampir dua jam aku menunggunya di stasiun, pesan-pesanku pun tidak dibacanya. Kulihat ada banyak sekali orang yang berlalu-lalang lalu pecah dalam tawa setelah berjumpa dengan orang yang di tunggunya. Sedangkan aku masih menikmati segelas kopi yang kupesan di caffe ini.
Kulirik kembali arlojiku, satu kurang seperempat menit sudah, setelah mendengar azan zuhur berkumandang. Tiba-tiba salah seorang pelayan caffe menyapaku yang sibuk dengan handphone dan novelku.
“Maaf mbak nunggu kereta keberangkatan jam berapa ya?” tanyanya padaku
“Oh engga mas, saya menunggu temen nih dari bandara, kira-kira kereta sampai jam berapa ya mas?”
“Oh nunggu teman mbak, ntar pacar hehe. Maaf mbak saya becanda, seharusnya sih jam 11:55. “ diliriknya arloji hitam.
“Oh gituya, terima kasih ya mas.“ lalu kualihkan pandanganku kearah ponselku dan tiba-tiba berdering panggilan masuk dari epan.
“Hallo sayang dimana? Aku udah di depan gerbang nih.”
Astaga, tiba-tiba jantungku berdetak dua kali cepat dari biasanya.
“Aaaku di caffe sebelah gerbang tiket nih sayang.“ jawabku gugup, karena ini adalah pertemuan pertamaku dengannya. Tanpa ku sadari pelayan caffe memperhatikanku lalu mencoba untuk membully ku, tiba-tiba dia menyentuh lembut bahuku. Dengan sepontan aku bangkit dari tempat duduk.
“Eh mas jangan kurang ajar nyentuh-nyentuh....”
Belum sempat aku selesaikan perkataanku ternyata yang menyentuhku adalah lelaki yang kutunggu. Wajahnya tidak asing terbang di dalam fikiranku, bukan sekali dua kali aku menatapnya berjam-jam di depan layar ponselku ketika sedang melakukan video call. Epan, entah gerangan apa dia bisa langsung dapat menemuiku, padahal ini hari pertamanya berada di Medan dan menemuiku.
“Maafya sayang kamu lama nunggu, tadi aku sholat sebentar jadi agak lama hehe.”
“Oh iya gapapa, kirain kamu tadi nyasar.“
***
Setelah lama berjalan keliling Kota Medan dengan taksi online yang kami pesan dia memintaku untuk mengenalkan beberapa tempat wisata yang lumayan terkenal untuk menjadi ...... di Medan. Beberapa tempat yang kami kunjungi adalah Istana Maimoon dan Mesjid Raya, serta kuliner yang tidak jauh dari tempat yang kami kunjungi.
“Ternyata orang Medan tidak seperti yang mas bayangkan ya?“ ucapnya sambil mengunyah sate Wak Saleh.
“Emang apa yang mas fikirkan tentang Medan?” Ujarku datar.
“Mas kira orang Medan kasar dengan logatnya yang keras, ternyata orang Medan itu juga lembut seperti orang-orang di Pulau Jawa sana.“ ujarnya.
“Lah, emang aku lembut mas?”
“Iya, Adek lembut kok tidak seperti biasanya jika menelpon mas yang suka bentak-bentak. Hehe”
“Aduh, ya itu lain lah mas. Ini karena baru pertama kali jumpa aku lembut, kalau udah lama-lama pasti aku kasar. Haha” jawabku diiringi ketawa yang lumayan cukup kuat.
“Iya dek, jadikan dek setelah dari sini kita kerumah adek, sudah tidak sabar mas bertemu kedua orang tua adek.“
“Iyaa mas, jadi kok. Selesai makan ya.”
“Ya iyalah masa sambil makan kita jalannya,”
***
Selesai menghabiskan makanan akupun memesan taksi online yang bertujuan ke rumahku, di perjalanan kami saling bercanda dan tertawa. Kedekatan kam sudah mulai membaur dengan adanya topik yang pas untuk dibahas. Tidak hanya candaan saja sekadar selfie bersama kami lakukan jika ada kesempatan waktu.
Waktu tidak terasa kami telah sampai di rumahku. Rasa malu dan cemaspun bercampur aduk menjadi satu di hatiku. Aku mulai gelisah ketika kulihat ayah ada di rumah. Bagaimana ini apa yang harus kukatakan terlebih dahulu kepada ayahku, karena aku tak pernah berani untuk menceritakan hubungan jarak jauhku ini kepadanya.
“Assalamuallaikum mak,” ujarku membuka pagar rumahku. “Maafya mak dea lama baliknya. Ayo masuk mas.” Kupanggil epan yang masih beraada dibelakangku.
“Assalamuallaikum tante.” Epan langsung masuk dan menyium punggung telapak tangan ibuku.
“Oh ini yang namanya epan.” Ungkap ibuku.
“Hehe iya tante.” Jawabnya singkat.
“Lah kok lama kali? Apa tadi keluar duluya de?” tanya ibuku.
“Iya mak, tadi kami keluar dulu baru kesini soalnya besok pagi mas epan sudah balik ke jogja, takut gak sempat untuk menikmati Medan.” Jawabku singkat untuk menjelaskan semuanya kepada ibu.
“Loh, besok sudah balik toh. Yasudah sebentar ya mamak buat teh dulu.” Lalu ibuku segera beranjak meninggalkanku dan epan di ruang tamu.
Sebenarnya ibuku mengetahui sedikit tentang dia, bagaimana mungkin aku tak menceritakannya sebab setiap kejadian yang kualami ibuku berhak dan wajib mengetahuinya, meskipun tak secara terang-terangan aku menggungkapkan bahwa kami sedang berpacaran. Aku berharap setelah penantianku ini akan membuahi hasil dalam hubungan yang serius. Sebab aku terlalu lelah untuk melabuh kehati yang salah.
Epan berusia lebih tua 9 tahun dariku, itulah salah satu alasanku mau untuk menjalin hubungan dengannya. Tidak hanya dewasa dari segi usia, dia juga telah menyelesaikan Magisternya di salah satu Universitas ternama di Jakarta, saat ini dia sedang bekerja disalah satu perusahan swasta di Jakarta. Orang tuanya bertempat di di Jogja, maka dari itu, dia juga sedang berjauhan dengan keluarganya.
Aku hanya mengenal keluarganya dari obrolan kami lewat ponsel, sebab dari itu kami sudah merencanakan bahwa setelah dia menjumpai keluargaku aku akan bergantian untuk mengunjungi keluarganya. Betapa besarnya pengorbananku untuk mematahkan opini orang tentang kesetiaan perempuan yang menjalankan hubungan jarak jauh. Mereka bilang bahwa semua perempuan tidak bisa menyetiakan diri untuk satu lelaki. Dan aku akan membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang bisa menyetiakan hati. Sebab banyak jarak yang tak dapat kulipat dengannya, aku sedang menunggu waktu yang pas untuk memberikan seluruh hatiku kepadanya pada saat yang tepat nanti.
***
Subuh masih terngiang di telingaku, jam dinding menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, masih sangat sempat sholat pikirku. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mandi dan melanjutkan kewajibanku untuk bersyukur kembali kepada allah. Untuk nikmat yang satu ini tak lepas bibirku dari lafaz syukron.
Pagi ini aku akan mengantar epan ke bandara untuk kembali pulang. Sudah dari tadi malam dia kembali ke hotel tempatnya menginap, kami berjanjian untuk bertemu di stasiun agar ke bandara mengendarai kereta api. Di taksi aku tak dapat menahan rasa rinduku untuknya, padahal semalam kami habiskan waktu untuk bersama. Mengapa dengan hatiku, aku tak rela untuk membiarkannya pergi dari pandanganku. Air mataku terus mengalir di sela-sela pipiku.
Kutatarkan hatiku agar bersabar bahwa 3 tahun bukanlah waktu yang lama jika dijalankan dengan keikhlasan. Aku takut bagaimana jika epan disana mengkhianati hatiku, atau ada kejadian lain yang membuat kami pisah. Sudah ah entahlah aku tak mengerti mengapa fikiranku sebocah ini.
“Turun di gerbang berapa mbak?” lamunanku terhenti ketika kulihat bahwa taksi yang mengantarku sudah sampai stasiun kereta api.
“Turun di sini aja pak,” lalu aku memberikan uang untuk membayar nominal tagihanku. “Kembaliannya untuk bapak saja.” Lanjutku dan lalu turun dari mobil.
“Terimakasih mbak.” Lalu supir taksi itu pergi.
***
Kringgg  ponselku bergetar
“Hallo, Mas dimana?”
“Mas di ruang tunggu, segera kesini waktu tinggal 15 menit lagi, mas jemput di gerbangya tiket dengan mas.” Lalu aku menyegerakan langkah agar sampai di lantai dua tempat dimana kereta api jalur bandara.
Setibanya kami dibangku kereta api, dia memberikanku sebuah kotak kecil dan aku sama sekali tidak tahu apa isinya sebab dia memberikannya dan lalu menyuruhnya agar kusimpan kedalam tas.
“Nanti buka setelah mas kabarin bahwa mas sampai jakarta.” Ucapnya singkat.
            Air mataku masih mengalir deras setelah epan mencium kedua punggung tanganku di pembatas pintu gerbang. Hanya satu pesannya yang membuatku kuat, “Jangan menangis, inshallah bulan depan mas ke Medan.” Kulihat dari jauh, bayangannya hilang didalam keramaian.
***
Kupandangi kotak kecil pemberiannya yang hampir setahun ini masih tetap kujaga seperti awal dia memberikan kepadaku. Bahkan sampai sekarang tidak lagi kudengar dering ponselku pertanda pesan masuk darinya. Kini aku lumpuh setelah kepergiannya. Separuh hatiku masih menunggunya kembali untuk menjemputku dengan semua janji yang telah dititipkannya untukku.
Setelah perjumpaan kami yang pertama dan terakhir itu aku mulai mentatihkan hatiku sendirian, sama seperti saat aku sebelum kenal dengannya. Kehilangan mulai menyapaku kembali, bahkan untuk sekedar menghubunginya saja tidak pernah ada jawaban. Banyak pertanyaan setelah ini.
Kupandang kotak ini untuk kesekian kalinya, mau sampai kapan aku akan tetap menunggu kabarnya hanya untuk memastikan bahwa kotak ini memang jawaban dari semua pertanyaanku. perlahan kubuka piita hitam yang mengkait antara kotak ini dan penutupnya, setelah kubuka ternyata isinya cincin emas yang simple dan sebuah surat yang bertuliskan dengan kertas berwarna hitam dengan tinta biru. Kubaca dengan pasih kata-perkata yang dituliskannya didalam surat tersebut. Seketika kotak yang kugenggam beserta isinyaa tumpah ruanh bersama air mataku.

Penulis adalah mahasiswa semester III pendidikan bahasa dan sastra indonesia UMSU aktif di komunitas sastra KESPERA MEDAN. Penyuka kopi dan segala cuaca.

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak r...

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sho...

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **...