Skip to main content

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sholat tarawih. “Ih Ibu ini mau di manapun sholat asalkan ikhlas dan khusyuk pasti pahalanya sampek kok, meskipun tidak di shaf pertama.” Jawabku. ”Iya memang tapi kalau kita sholat di shaf paling belakang Ibuk tidak bisa melihat ustad muda yang mengisi ceramah sekaligus imam sholat tarawih Salsa.” Jawab Ibuku dengan nada kesal tetapi pelan di telinga. “Ih Ibuk ini.” Jawabku singkat. Aku mencoba memalingkan wajah kesalku dari hadapan Ibu. yang masih saja menggerutui tidak dapat di shaf pertama. Setelah mendengarkan ikhomah, kami kembali bangkit dari duduk untuk melaksanakan ibadah wajib. 10 menit menghabiskan waktu 4 rakaat dengan surah yang dilantunkan dengan indah oleh imam sholat isya. Sependengaranku suara itu sangat merdu sehingga membuatku tidak khusyuk. Setelah sholat isya dilanjutkan dengan ceramah singkat oleh imam tersebut. Sambil mendengarkan suara penceramah tersebut sembari menunggu panitia mesjid membuka pembatas antara shaf laki-laki dan perempuan. Aku melihat di sekeliling ternyata shaf belakang dipenuhi anak-anak yang sedang sIbuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku kembali mengingat ramadhan 8 tahun silam yang pernah menjadi garis pengalamanku semasa SMP dulu. Berbondong-bondong ke mesjid untuk sholat isya lalu mendengarkan ceramah singkat ustad, setelah itu menuliskannya ke dalam buku laporan ibadah ramadhan untuk memenuhi tugas. Aku tersenyum ketika melihat para anak-anak itu sIbuk dengan ocehan yang mengarang singkat untuk di tuliskan di bukunya masing-masing. “Eh ustad apa ini namanya lupa aku.” Kata seorang anak perempuan di sebelahku. “Is kau bodoh kali, itu ustad Azmi yang masih muda ganteng itulo.” Jawab temannya. “Hust dek jangan bisingya, Ibuk mau dengerin ceramahnya.” Tiba-tiba Ibuku menegur anak perempuan yang mengobrol di sebelahnku tadi. “Ibu gak boleh gitu mereka mau ngisi tugas lho.” Bisikku ke telinga Ibuk. “Sal lihat lah itu ustadnya masih muda banget ya.” Bisik Ibuku. “He iya buk,” jawabku singkat. “Buk, jangan ngobrol deh gak enak tau didenger yang lain.” “Coba aja kamu punya pacar yang sesoleh itu sal.” Lanjut Ibuku yang tidak mempedulikanku. “Ih Ibuk ini.” Jawabku, ternyata tidak hanya Ibuk yang mendengar suaraku tetapi hampir seluruh jamaah di teras mesjid yang mendengarkannya. Betapa malunya aku ketika kulihat semua jamaah menoleh kehadapanku, terlebih lagi ketika penceramah diam lalu pandangannya mengarah keluar pintu tepat di hadapanku lalu menatapku lama. Apalagi diperhatikan semua jamaah terlebih lagi dengan suaraku yang lumayan besar. Aku hanya bisa memandang penceramah sambil tersenyum kehadapan semua orang yaang memandangku. Selesai dari sholat tarawih aku dan Ibuku bergegas untuk kembali berjalan menuju rumah, di perjalanan Ibu selalu melontarkan pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab denga pasti. “Sal kamu sebentar lagi wisuda, tapi satu laki-lakipun belum pernah menjadi teman serius kamu untuk kamu kenalkan dengan Ibu, kamu ini gimana sih.” “Ih Ibu ini, nanti juga adakok, belum tepat aja waktunya.” Jawabku singkat. “Kalau kamu memang tidak punya, biar Ibu saja yang carikan.” “Yauda soal ini terserah Ibu.” “Iya benar ini urusan Ibu, di pengajian banyak ustad-ustad muda.” Mendengar kalimat terakhir Ibu aku langsung berhenti dari langkahku yang sedikit lagi mengarah pagar rumahku. “Ih Ibu ini, aku belum baik bangetlo, jangan lah aneh-aneh ngenalin sama ustad-ustad di pengajian Ibu.” Jawabku memelas dan melajukan langkah meninggalkan Ibu di pagar rumah. “Assalamuallaikum,” suara lelaki yang sebelumnya pernah kudengar tetapi aku lupa di mana aku mendengarkannya. “Waalaikum salam,” Jawabku menuju pintu teras depan rumahku. Alangkah terkejutnya aku ketika keluar rumah kudapati lelaki yang menjadi Imam sholat tarawih kemarin yang ada di hadapanku. “Iya bang cari siapa?” tanyaku lagi pura-pura tidak tahu. “Benar ini rumah bu Iyus mbak?” “Iya benar itu Ibu saya kenapa ya mas?” “Saya dapat panggilan dari pengajian ar-rahman, katanya untuk mengajar private mengaji yang di tujukan beralamat di rumah bu Iyus mbak, ada Ibunya?” jawabnya Aku kembali mencerna secepat mungkin kata-kata yang di lontarkan lelaki di hadapanku ini, private mengaji? Emang siapa yang mau belajar mengaji? Bukankah di rumahku tidak ada anak kecil apalagi kami di rumah semuanya sudah pandai mengaji. Apalah maksud dari Ibuku ini. Astaghfirullah. Lamunanku kembali buyar ketika Ibu keluar rumah dan langsung mempersilahkan lelaki tersebut masuk ke dalam rumahku, aku masih diam di teras rumah melihat tingkah aneh dari Ibuku. “Gini ustad siap lebaran nanti kan anak saya Salsa mau wisuda, jadi mau buat sedikit syukuran nah saya manggil ustad untuk membawakan ceramah dan doanya begitu maksud saya ustad bukan untuk belajar mengaji. Hihi” kudengar dari dalam Ibuku membicarakan persoalan wisudaku kepadanya. “Oh baik buk bisa, niat baik insha Allah akan terlaksanakan,” jawabnya singkat. “Kalau begitu saya izin pamitya buk soalnya sudah azhar mau beres-beres mesjid.” Jawabnya lagi. “Oh iya buk satu lagi saya mau izin mohon maaf lahir bathin besok saya pulang kekampung mana tau tidak bertemu.” “He iya ustad semoga mudiknya sampai tujuan dengan selamat.” ** “Salsa, hari ini kamu sangat cantik sayang.” Ibu mengecup keningku ketika melihatku selesai berias untuk acara wisudaku di aula kampus. “Hehe Ibu ini bisa aja kan biasanya Salsa juga cantik, hihi” “Selesai wisuda nanti kita langsung balikya sayang, kan hari ini sekalian syukuran kamu jangan biarkan Azmi menunggu lama.” Perkataan Ibu semakin membuatku bingung. “Maksudnya apa bu?” “Tidak mengapa, ayo lekas sudah jam 7 ini. Ibu tunggu di luar ya.” Ibu langsung meninggalkanku. Berakhir sudah acara pemindahan tali togaku di aula kampus, semerbak sedih haru dan bahagia tercampur sudah. Setidaknya aku sudah meringankan beban orang tuaku ketika namaku di sebut sebagai mahasiswi yang menerima beasiswa awal hingga akhir. Terlebih lagi ketika namaku dan nama kedua orang tuaku dipanggil sebagai mahasiswa nilai terbaik yang sering disebut dengan mahasiswa cumlaude. Sampai di halaman rumah Ibu langsung meninggalkanku menuju ruang keluarga, betapa terkejutnya aku ketika rumahku sudah di penuhi dengan tamu undangan, tetapi banyak wajah asing yang sama sekali belum pernah aku jumpai. “Sal masuk, salam ini semua keluarga ustad Azmi,” pinta Ibuku. “Alhamdulillah Salsa mendapat gelar wisudawan terbaik Azmi.” Katanya lagi kepada lelaki itu. Aku langsung duduk dan menyalami semua tamu yang datang terlebihnya lagi ayah dan Ibu lelaki itu yang duduk berada di sampingnya. Lalu Ibunya memeluk dan mencium kedua pipiku, perasaanku tidak mengerti acara apa sebenarnya yang sedang berlangsung di rumahku. “Bu ini acara apa ya kok Salsa gak tahu.” “Acara hantaranmu dan Azmi Salsa.” Jawab Ibuku. “Kamu mau kan Salsa?” tanya lelaki yang pernah mengimamiku pada sholat tarawih ramadhan kemarin. “Iya aku mau.” Tiba-tiba saja bibirku berkata jujur tanpa kusadari. Penulis merupakan mahasiswi fkip umsu semester 5, pemimpi dan penghayal paling romantis, penyuka kopi hujan dan kamu. Telah Terbit di Harian Umum Medan Pos pada tanggal 24 juni 2018

Comments

Popular posts from this blog

CERPEN AKU BENCI HUJAN SORE ITU

AKU BENCI HUJAN SORE ITU Cerpen Rizki Alde a Hujan tak selamanya pantas dinikmati. Mungkin jutaan orang selalu ceria menikmati tetes demi tetes air dari langit, tapi aku adalah pembenci hujan. Karunia Tuhan itu adalah ketakutan meski ia selalu datang. Sore ini hujan , dan bersama dengan segelas kopi di depan jendela ruang tamu. Kuharap sore ini tidak seperti yang lalu . Aku menelanjangi ruangan yang penuh warna hijau . Aku teringat , hijau adalah warna kesukaanku dan Bima. Arlojiku menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi Bima tak juga kunjung menjemput. Aku tak mau berdiri di barisan ‘Para Tukang Terlambat’ hanya gara-gara telat ke sekolah. Kekesalanku belum selesai meski Bima sudah muncul di depan rumah dan membunyikan klakson sepedamotor. Bima memacu sepedamotornya dengan kencang. Hanya dalam waktu sepuluh menit, jarak 3 km ke sekolah mampu ditembus. Ia mengenderai seperti orang gila. Sampai di sekolah aku hanya diam dan langsung mengambil barisan paling depan ka

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **

PUISI 15 OKTOBER 2017

Seperangkat duka Rizki Aldea ( Permadiksi/ Fkip Umsu) Kau seharusnya sesak dalam bak mandi yang menyesak Menepikan basah dipercikan luka Akibat sabun yang menyayat hatimu Seharusnya kau keluar bodoh Untuk memberitahu kepada luka bahwa kau telah habis kumandikan dengan dosa Kita; Kata Rizki Aldea (permadiksi/ fkip umsu) Kita yang hanyut terbawa duka kepedihan Mulai berlabuhlah di semak semak belukar cinta Kita yang tenggelam dalam sesak tangis yang terisak Membawa bencana jauh setelah prosa di kumandangkan Kita adalah cinta yang menyisihkan luka disetiap kata Kita adalah pena jauh kekar dan keras dari yang kita aminkan Lelaki dan Sepatu Rizki Aldea (Permadiksi/FKIP UMSU) Dari balik jendela pudar yang kabur Diantara batuk dan hujan yang tak reda sejak pagi Aku mencintaimu masih seperti sepatu Yang tetap jalan meski selalu kejar kejaran Yang sama sama memudar meski menginjak becek yang mengkekar Yang sama sama berjalan meski berputar-