Skip to main content

Senja Kala di Kaki Sinabung

Cerpen: Rizki Aldea Hujan tetap bersedia kala turun membasahi tanah yang kami pijaki di desa suka ramai ini, beberapa orang berlalu-lalang sibuk mencari kehangatan yang mulai mati di sela-sela jemari. Seperti biasa satu dua orang menyeruput rokok untuk sekadar membuatnya hangat dari udara pegunungan di sini. Ternyata benar, beberapa bulan lalu Uje bilang kepadaku, bahwa aku akan merindukan rasa panas. Entah itu kehangatan dari sebuah udara ataupun panas dari sebuah minuman atau makanan. Aku harus mensinkronkan perasaanku terhadap cuaca dingin dan cuaca panas. Dan inilah jawabannya, aku sangat merindukan udara dan rasa panas ketika berada di puncak Siosar ini. Betapa beku mulai menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun kepala. “Ini minum biar kau gak kedinginan, bibirmu pucat kita sudah seperti di Eropa saja.” Ujar Gopi memecahkan lamunanku. “Makasih Gop.” Aku langsung menyeruput kopi kesukaanku yang baru saja dibawakan gopi salah satu teman sekaligus tim relawan di sini. Lelaki itu masih saja memandangku dari kejauhan setelah aku membantu temannya yang terluka jatuh saat membeli perlengkapan untuk memasak esok hari. Aku tidak mengenalinya tetapi yang pasti aku dan dia adalah bagian dari tim relawan erupsi gunung ini. Setelah tadi malam kudapati dia dan rombongan temannya bingung untuk mencari bantuan usai kecelakaan menimpah, dia masih saja diam dan dingin terhadapku, sesekali kuperhatikan dia yang saat itu juga masih suka memperhatikanku secara diam-diam. Entah perasaanku yang kacau balau saat itu sehingga aku sangat percaya diri bahwa aku sedang diperhatikannya. “Aku masuk duluya, di sini sangat dingin, dan kau masih tetap diam bertahan di sini. Di dalam ramai dan sangat hangat.” Ujar Gopi dan langsung meninggalkanku. Sudah dua hari aku menikmati udara dan suasana seperti ini, aku masih tetap menikmatinya, membantu meringankan kesedihan mereka yang dua tahun belakangan ini tertimpah musibah erupsi gunung. Anak-anak di sini sangat membutuhkan orang-orang seperti kami yang membagi cerita dan sekaligus menjadi penghibur dikala sedih melanda. “Kak, kemarin aku pandai membaca ketika masih sekolah, dan sekarang aku sudah lupa huruf-huruf yang diajari guruku. Bisa kakak bantu aku untuk mengingatnya?” aku mengingat kembali segala keluhan yang terjadi di sini. Sangat memprihatinkan, sudah hampir dua tahun mereka mendapatkan pendidikan yang alakadarnya, sekolah dengan keadaan sekolah yang kurang baik, dan dengan pakaian yang tidak layak mereka dapat sebagaimana anak sekolah yang berada di kota. Sebenarnya banyak kesedihan yang kusembunyikan di balik rasa canda tawaku ketika bercerita apa itu surga dunia, tempat tinggal yang layak dan pendidikan yang cukup. Mereka masih sempat tertawa bahagia ketika aku bercerita tentang desaku dulu dan kota, katanya mereka kalau sudah besar ingin sekolah di kota yang serba lengkap dan serba bisa. “Kak aku nanti mau kuliah di tempat kakak, biar aku bisa buat ibu bapakku bahagia.” Ujarnya lagi ketika aku menyampaikan apa itu perkuliahan. Tetapi, di sini tidak seperti yang aku ceritakan, sampah dan kamar-kamar berserakan, bahkan airpun sulit didapatkan, aku menangis ketika aku minta untuk salah satu adik mengantarkanku ke kamar mandi. Airnya tidak ada, jikalau ada pasti harus menunggu lama. Kamar mereka campur antara keluarga jawa dan keluarga karo. Bagaimanapun mereka tetap sama pejuang hidup dari gunung yang erupsi. Aku senang ketika melihat mereka menerima kami dengan lapang dada, serta semua jenis kegiatan yang kami laksanakan di sini berjalan dengan lancar atas kerja sama yang baik antara tim relawan dan masyarakat setempat. Tidak terasa malam ini adalah malam terakhirku berada di sini. Tanpa kusadari air mataku menetes jatuh membasahi punggung tanganku yang memegang gelas berisi kopi. Aku sangat bahagia dan nyaman berada di daerah pengungsian ini, senja-senja masih alami kulihat ketika dengan gagah meninggalkan cerahnya langit berwarna biru. Aku bisa menikmati apa itu karya Tuhan yang luar biasa lewat pemandangan sekitar dan aku masih bisa merasakan hidup nyaman berada di suatu pedesaan. Rasanya berat sekali aku untuk melangkahkan kaki berpamitan esok pagi dengan penduduk sekitar pengungsian. Aku masih ingin tinggal di sini untuk menghibur dan membacakan dongeng kepada adik-adik, aku masih ingin merasakan bercocok tanam dengan ibu-ibu angkatku di sini. Sungguh, jika saja tidak ada kegiatan yang urgent di kota aku masih tetap ingin tinggal di sini sampai bulan depan. Pagi ini hujan tidak turun, hanya kabut mengapal di balik pohon-pohon pembatas antara desa ini dan Gunung Sinabung, pagi ini aku sangat menikmati fajar yang merah merekah gagah terbit di balik bukit-bukit desa ini. Cahayanya mengintip dari celah daun-daun yang basah karena hujan tadi malam. Tiba-tiba saja empat orang anak-anak berlarian dari jauh memanggil-manggil namaku dan langsung memelukku dengan erat. “Kam balik ka kota?” ujarnya sambil memeluk badanku dengan manja. “Iya dik, kakak mau balik ke kota, bulan depan kalau kakak gadak halangan kakak balik lagi kesini ya.” Jawabku lembut agar dia tidak tersinggung dan menangis. Mereka hanya diam dan kembali memelukku, dua diantaranya sedang sibuk merangkai bunga yang sejak tadi di genggamnya. “Ini untuk kakak, kalau sudah mau layu, kakak datang lagi kesini untuk mengambil yang baru ya.” Lalu dia memberikan bunga yang sangat cantik untuk kupamerkan di kota nanti. “Apa nama bunga ini dik?” tanyaku. “Katanya sih tadi Edelwais kak.” Jawabnya singkat. “Adik yang serius saja, mana ada edelwais di daerah kita ini.” Ungkapku memastikannya. Lalu tiba-tiba saja mereka berempat kembali memelikku dan tertawa bahagia. Rasa haru dan bahagiaku mulai kutahankan di sekat-sekat mataku, antara bahagia dan sedih harus meninggalkan mereka, tak peduli bunga apa yang sedang kugenggam ini, aku sangat sedih dengan saat-saat seperti ini untuk berpamitan sekaligus mendapatkan hadiah yang kurasa sangat luar biasa ini. Kupandangi bunga yang sudah berada digenggamanku ini, tidak silap pandangan mataku sambil memeluk adik-adik ini, lelaki itu memandangku dari jauh dan tersenyum untuk yang pertama kalinya kepadaku. Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU semester 4 dan penyuka segala bentuk kejadian. Telah Terbit di Harian Medan Pos 7 April 2018

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak r...

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sho...

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **...