Hujan tak selamanya pantas dinikmati. Mungkin jutaan
orang selalu ceria menikmati tetes demi tetes air dari langit, tapi aku adalah
pembenci hujan. Karunia Tuhan itu adalah ketakutan meski ia selalu datang.
Sore ini hujan, dan bersama dengan segelas kopi di depan jendela ruang
tamu. Kuharap sore ini tidak seperti yang lalu. Aku menelanjangi ruangan yang penuh
warna hijau. Aku teringat,
hijau adalah warna kesukaanku dan Bima.
Arlojiku menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi Bima tak juga
kunjung menjemput. Aku tak mau berdiri di barisan ‘Para Tukang Terlambat’ hanya
gara-gara telat ke sekolah. Kekesalanku belum selesai meski Bima sudah muncul
di depan rumah dan membunyikan klakson sepedamotor.
Bima memacu sepedamotornya dengan kencang. Hanya dalam
waktu sepuluh menit, jarak 3 km ke sekolah mampu ditembus. Ia mengenderai
seperti orang gila. Sampai di sekolah aku hanya diam
dan langsung mengambil barisan paling depan karena dua menit lagi upacara akan
dimulai.
Sesekali aku memperhatikan Kepala Sekolah yang sedang
berpidato memberi nasihat. Selebihnya, mataku liar menelanjangi langit biru. Amazing!
Di pagi yang cerah, langit biru berisi balon
warna-warni yang keluar dari jendela kelasku. Oh my god. Pikiranku terus melayang mengikuti arah
angin saat balon yang tertuliskan happy anniversary Rade. Aku baru ingat,
ternyata ini tanggal jadian aku dan Bima yang kedua tahun.
Selesai upacara aku langsung bergegas
ke atas menuju kelasku, kulihat
beberapa tangkai mawar yang bergantungan
di setiap sudut tangga. Aku berlari melewati ruang guru hatiku penuh haru dan
bahagia mengingat setiap kejutan yang bima berikan kepadaku. Aku sampai kelas
dengan nafas yang terengah-engah.
**
Hingga bel berbunyi pun bima
belum juga menemuiku,
bahkan istirahat pun dia tidak datang. Ternyata dia diberi hukuman oleh kepala
sekolah karena sudah membuat onar pada saat upacara. “Astaga! balon!” Pekikku dalam hati.
“Maafin akuya bae, acara anniversary nya hancur aku buat.”
bujuk Bima saat memakaikan
helmku.
“Aku gapapa loh yang, jadi pelajaran ya lain kali
kamu jangan bolos upacara, jangan buat aku suprice-suprice
yang wah, aku gak butuh itu semua aku cuma mau ntar kamu belajar yang bener
biar lulus ptn tahun ini. Oke.”
Di dalam perjalanan menuju rumahku banyak sekali cerita-cerita
yang kembali kami ingat,
tentang kesukaanku dengan
hujan kami selalu bernari-nari di bawahnya pada saat hujan deras. Apalagi pada
saat dia bercerita tentang bagaimana pertama kali melihat wajahku memerah
ketika dia meng-ospek ku pada saat Masa Orientasi Siswa.
Pernah suatu sore kami berdua pergi untuk menonton
ke bioskop yang lumayan jauh dari
rumahku, karena kami kehabisan tiket jam tiga, kami menunggunya hingga pukul tujuh
malam. Hanya karena aku yang terlalu manja dan memaksa. Kami keluar pukul
Sembilan. Dan pada saat itu hujan turun. Dengan tingkah yang aneh, aku tetap ingin pulang
dalam keadaan basah. Dia tidak mengizinkan tetapi aku yang langsung berlari ke bawah hujan. Mau tidak
mau bajuku sudah basah kuyup dan kamipun pulang di bawah hujan yang sangat
deras.
Sampai rumah ayah marah kepada kami, karena sudah pukul
sepuluh dan kami dalam keadaan basah kuyup. Padahal ini permintaanku, sudah kucoba untuk menjelaskan
kepada ayah tetapi tangan
ayah dengan sigap menyambar pipi bima. Bima tidak marah sedikit pun apalagi
melawan dengan ayah, dia tetap menuturkan kata-katanya yang lembut dan pamit
dengan keadaan hujan deras dan aku langsung ditarik ayah untuk masuk. Kulihat
dari jendela kamarku, bima mendorong motor karena bannya pecah.
***
Pagi ini hujan deras, yang menyapa bukan hangat
mentari tetapi embun dan butiran-butiran yang seperti salju sudah biasa aku
rasakan ketika hujan melanda minggu pagiku. Kuambil segelas kopi hangat dari
meja dapur dan kubawa menuju kamar di atas. Duduk di pinggir jendela kamar
sambil menghitung seberapa banyak tetas air hujan yang menempel di kaca.
Kring-kring-kring tiba tiba ponselku berbunyi
panggilan masuk dari bima.
Sambarku, “Hallo yang, kita jadi
pergikan?”
“Pagi ini hujan, apa kamu tetap mau pergi? bagaimana jika kita
tunda hingga minggu depan?” katanya dari
balik ponsel.
“Yah,
terserah deh, tapi
sebentar lagi hujannya reda kok, kita bisa tetap pergi jika kamu mau.”
“Yauda ya bae.” tut-tut-tut
telephonenya terputus.
Tiba-tiba suara ibu dari bawah memanggilku untuk
segera turun. Bima
datang dengan mantel hujan yang kubelikan hadiah anniversary bulan
lalu. Membawa bouket bunga dan sebotol balon cair. Tanpa memperlama waktu aku segera
mengambil tas yang sudahku siapkan lebih awal.
“Hujan-hujan gini?” Tanya ibu ketika aku ingin
menyalamnya.
“Sudah Bima
ingatin
te, ditunda saja tetapi Rade tetap gak mau.”
“Gak
apa loh hujan-hujanan, sayang
ayo kita pergi.” Sambarku menarik
pergelangan tangannya.
Lalu kami bergegas melaju dengan sepeda motor yang biasa bima
bawa untuk menjemputku.
Seperti rutinitas bima selalu membawaku untuk
melihat pemandangan alam yang sangat membuatku terpukau. Puncak yang tinggi
adalah salah satu tempat yang sangat favorit
bagi kami berdua. Kumainkan
balon cair yang dibawanya tadi. Kulompati
hujan yang turun bagaikan
anak-anak kesenangan melihat balon yang terbang. Begitulah Bima, selalu ada cara
untuk membuatku bahagia. Tidak perlu mahal,
sesederhana hujan yang selalu mengundang pelangi. Bahkan dia pernah
berkata padaku apapun yang kamu sukai akan menjadi kesukaanku.
“Siapa yang paling sayang sama aku?” tanyanya,
“Aku.” Kujawab singkat.
“Dan siapa yang paling sayang sama kamu?” Tanyanya
lagi.
“Kamu.” Jawabku.
Tiba-tiba aku terpeleset dan jatuh ke tebing balkon
puncak yang menjadi tempat kami bermain hujan sore ini.
EPILOG
Aku benci hujan, meskipun ia selalu membuatku dan Bima bahagia ketika
mencumbuinya,
tetapi kemarin dan seterusnya akan sama aku tetap membencinya. Ia membuatku kehilangan
separuh hidup dan harapanku. Ia
mengambil kebahagiaanku, ia mengambil Bima
dari kehidupanku.
Sore itu hujan deras dan kami bermain balon di
bawahnya, sudah berulang kali Bima
mengingatkanku untuk tetap berhati-hati. Tetapi
Tuhan lebih berkuasa di atas segalanya,
lewat hujan sore itu. Aku
terpeleset dan aku jatuh ke tebing balkon yang kupijak untuk bermain balon.
Bima berlari untuk menangkap tanganku. Tetapi apa boleh buat tanah yang Bima pijak terlalu licin
untuk menyanggahku dengan satu tangan.
Hujan mengambil kedua kakiku dan kebahagiaanku, Bima.
Penulis
adalah mahasiswi semester III
jurusan Pend Bahasa dan Sastra Indonesia
UMSU
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0n1mpQ3UX0cF2_r_yW90e8p0qjKx9wExwFFLrq7IQbFFBn2U_nKOh_d6ZVBfkXwSdHOV1a2PGe0ofXvy6ZcnUO7JCC6FtP69RbEUC2NjPqdqBeFFBpCj8Y6_gf0dK62wqHe4lVK7U3sNT/s320/27332652_747566285438350_300784344193175625_n.jpg)
Comments