Berhenti Mencintai Oleh: Rizki Aldea “Aku menunggumu.” segelas kopiku sudah habis kulalap bersama sepotong kue cokelate kesukaanku, seperti biasanya di caffe yang sering kusinggahi ketika menatap hujan-hujan di akhir tahun. ** “Nanti kujemput ya di depan gerbang ekonomi.” Katanya lewat pesan singkat. “Iya.” Jawabku pula. Sepanjang jalan aku hanya diam, begitupun dengannya. Bibir kami saling mengatup rapat. Tidak ada percakapan malam ini. Sebenarnya kami sedang bertengkar, sudah 3 jam aku menunggunya di depan gerbang ekonomi. Tetapi dia tak kunjung tiba, sehingga waktuku terbuang sia-sia. Aku sudah memaafkannya untuk yang ke dua kali, tetapi hari ini dia mengulangi kesalahannya lagi, dan kami masih tetap saja diam sampai ketujuan. Sampai di depan rumah aku turun dari atas motornya. Dia masih tetap diam dengan wajah yang sedikit menyesal akibat kesalahannya. “Terima kasih.” Aku langsung membuka pagar rumahku, melangkahkan kaki beranjak meninggalkannya yang masih duduk diam di atas moto
Cerpen: Rizki Aldea Hujan tetap bersedia kala turun membasahi tanah yang kami pijaki di desa suka ramai ini, beberapa orang berlalu-lalang sibuk mencari kehangatan yang mulai mati di sela-sela jemari. Seperti biasa satu dua orang menyeruput rokok untuk sekadar membuatnya hangat dari udara pegunungan di sini. Ternyata benar, beberapa bulan lalu Uje bilang kepadaku, bahwa aku akan merindukan rasa panas. Entah itu kehangatan dari sebuah udara ataupun panas dari sebuah minuman atau makanan. Aku harus mensinkronkan perasaanku terhadap cuaca dingin dan cuaca panas. Dan inilah jawabannya, aku sangat merindukan udara dan rasa panas ketika berada di puncak Siosar ini. Betapa beku mulai menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun kepala. “Ini minum biar kau gak kedinginan, bibirmu pucat kita sudah seperti di Eropa saja.” Ujar Gopi memecahkan lamunanku. “Makasih Gop.” Aku langsung menyeruput kopi kesukaanku yang baru saja dibawakan gopi salah satu teman sekaligus tim relawan di sini. Lelaki itu m