Skip to main content

Cerita Pendek, Terbit di Harian Medan Pos

Berhenti Mencintai Oleh: Rizki Aldea “Aku menunggumu.” segelas kopiku sudah habis kulalap bersama sepotong kue cokelate kesukaanku, seperti biasanya di caffe yang sering kusinggahi ketika menatap hujan-hujan di akhir tahun. ** “Nanti kujemput ya di depan gerbang ekonomi.” Katanya lewat pesan singkat. “Iya.” Jawabku pula. Sepanjang jalan aku hanya diam, begitupun dengannya. Bibir kami saling mengatup rapat. Tidak ada percakapan malam ini. Sebenarnya kami sedang bertengkar, sudah 3 jam aku menunggunya di depan gerbang ekonomi. Tetapi dia tak kunjung tiba, sehingga waktuku terbuang sia-sia. Aku sudah memaafkannya untuk yang ke dua kali, tetapi hari ini dia mengulangi kesalahannya lagi, dan kami masih tetap saja diam sampai ketujuan. Sampai di depan rumah aku turun dari atas motornya. Dia masih tetap diam dengan wajah yang sedikit menyesal akibat kesalahannya. “Terima kasih.” Aku langsung membuka pagar rumahku, melangkahkan kaki beranjak meninggalkannya yang masih duduk diam di atas motornya. “De.” Ujarnya padaku. Aku langsung membalikkan badan dan menatapnya penuh iba, sebenarnya ini tak bisa kulakukan kepadanya. Aku selalu memberikan maafku mau separah apapun kesalahan yang diperbuatnya. “Ha?” “Selamat malam,” Ucapnya “Malam ini aku tidak akan menghubungimu untuk meminta maaf. Aku janji.” Lanjutnya lagi dan langsung menghidupkan mesin motornya lalu melaju meninggalkanku yang masih berdiri di halaman rumahku. Masih kuingat, ketika pertama kali aku dipertemukan dengannya, kami sedang berteduh di Indomaret yang tidak jauh dari kampusku, memang pada saat itu kami terjebak hujan yang sangat deras dan tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Dia tidak sedang melanjutkan pendidikan di kampusku, dia hanya orang yang ketika itu melewati kampusku. Aku tidak banyak tanya pada saat itu, hanya menatapnya lalu menatap arloji yang ada di tangan kanannya. Lalu dia tersenyum padaku. Senyumnya amat manis sekali, dua buah lesung pipi hinggap di kedua pipinya. “Kenapa mbak?” tanyanya padaku. “Mas boleh pinjam handphonenya? Saya mau memberi kabar ke Ibu saya, soalnya handphone saya mati. Sudah jam berapa ya mas saya takut Ibu saya khawatir.” Jelasku. “Oh boleh, ini,” lalu dia memberikan ponselnya “Jam setengah 11 lewat 10 menit mba.” Katanya lagi. Pertemuan kami sangat singkat, berawal dari sebuah ponsel hingga aku sangat mencintainya sampai detik ini. Entah sakitan mana, aku yang terus menunggu dengan segala waktu yang kupunya apa pergi meninggalkannya dengan semua janji yang pernah kami buat bersama. Sampai saat ini semenjak Odi berlayar jauh dariku dia tidak pernah bercerita apakah perasaannya semakin membesar atau memudar terhadapku, yang kutahu dia masih tetaplah kekasihku yang sangat kucintai sejak pertamakali kami mengutarakan perasaan masing-masing. Aku masih senantiasa menunggunya dengan setia di rumahku dan disegala buku-buku yang kutulis tentangnya, entah sudah berapa puisi dan cerita singkat yang aku gambarkan tentangnya melalui kesedihanku. Dua hari lalu Odi kembali berlayar pulang kehatiku, dia mulai menghubungiku dan katanya dia akan kembali ke Indonesia lusa; hari ini. Dia juga mengajakku untuk bertemu, katanya ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakannya padaku. Akupun menyetujui untuk menemuinya, bahkan aku menawarkan diri untuk menunggunya di pelabuhan. Sebenarnya dia sangat berat untuk mengatakan iya kepadaku, sebab seperti ada satu pesan yang tersirat disetiap perkataannya untuk menahanku agar aku tetap di rumah. “Sudah di mana?” pesan Odi muncul di layar ponselku. “Di meja nomor 08.” Aku sengaja memilih meja nomor 08 sebab aku dan Odi menyukai angka 0 dan 8. Aku sebisa mungkin berusaha untuk kembali mengingatkan ke Odi masa-masa kami dahulu, 3 tahun silam. Dengan langkah yang pasti Odi sudah berada di hadapanku, sungguh perubahan yang sangat baik. Dahulu rambut gondrongnya selalu menemaniku kemanapun aku mengajaknya pergi, tetapi untuk saat ini Odi yang kukenal dahulu sangat jauh beda. Pakaiannya serta tataan rambut yang rapi membuatnya sedikit terlihat berwibawa dari yang kukenal dahulu. Senyumnya masih sama, aku sangat merindukan senyum dan tawanya. Tetapi kali ini dia tidak memperlihatkan itu di hadapanku. Malah masalah besar jika kuterka dari raut wajahnya. “Apa kabar?” tanyaku sambil mengulurkan tangan. “Aku baik de. Aku harap kamu baik-baik saja,” Jawaban dan pernyataan yang sangat menipu, bagaimana mungkin ada orang yang baik-baik saja setelah bertahun-tahun di tinggal tanpa kepastian. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. “Odi..” “De aku kesini mau bilang kekamu berhentilah untuk mencintaiku.” Tiba-tiba saja hatiku bagaikan di sambar petir, padahal sore ini cuaca sangat cerah. Lalu aku mengeluarkan kotak pemberiannya dahulu, pada saat dia berikan ketika usiaku menginjak kepala dua. “Odi, aku menyetujui perjumpaan ini bukan untuk kembali berdebat denganmu, aku pamit ini aku kembalikan hadiah yang sangat berharga darimu, hadiah yang pernah kau iming-imingi dengan sebuah pernikahan.” Aku bangkit meninggalkannya yang masih duduk. “De, aku meminta pertemuan hari ini bukan untuk menerima kembali hadiah yang dulu pernah kuberikan untukmu, maafkan aku.” Aku mencoba ikhlas serta menahan air mata ketika Odi menahanku dan menggenggam pergelangan tangan kiriku, sungguh erat dan nyata. Kukira semua penantian ini akan berakhir dengan bahagia. “De,” lalu Odi memanggilku seperti biasanya ketika dia memanggilku dahulu. Lalu aku membalikkan badan dan kembali menatapnya dengan pasti. “Sherly sedang mengandung anakku, dan kami akan menikah minggu depan,” aku menarik nafas dalam-dalam terasa sesak segumpal daging di dadaku. “Maafkan aku de.” Odi meninggalkanku dan sebuah undangan bersama hadiah yang ditinggalkannya. Aku segera mengingat, dahulu Odi memberikan hadiah ini sehari sebelum dia pergi pada hujan di bulan maret. Kata-katanya, “De, kau tidak akan pernah melihat senja selesai hujan tiba. Tidak akan pernah.” Ternyata semua waktu dan kesetiaanku sia-sia. Mahasiswi FKIP UMSU Semester V Pend Bahasa dan Sastra Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak r...

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sho...

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **...