Skip to main content

SURAT DARI SUDAN

SURAT DARI SUDAN
Oleh: Rizki Aldea

“Agak diangkat sayang kepalanya biar gak miring sanggulannya.” Pinta bidan pengantin sambil memasangkan sanggul dan jilbabku yang berwarna putih.
Tinggal hitungan jam aku akan sah menjadi istri dari laki-laki yang kudamba-dambakan sejak masa jahiliyah dulu. Masa di mana aku masih menggunakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekukan tubuh, di mana laki-laki ini masih menjadi laki-laki sekaligus abang yang baru saja kukenal dari kakak sepupuku, masa aku berumur belasan yang mengganggap bahwa rasa suka dan rasa cinta kepada lawan jenis bisa kapan saja datang dengan orang yang berbeda-beda.
Aku masih saja memandang foto yang kuletakkan di atas meja rias kamarku, di sana aku masih menggunakan baju gaun yang foto mesra memperlihatkan aurat dengan orang di sekelilingku. Foto sewaktu aku merayakan hari ulang tahunku yang ke-15. Foto itu manis sekali, terlihat aku dan kedua orang tuaku serta saudara-saudara yang menghadiri acara pesta ulang tahunku, termasuklah dia abang sekaligus calon suamiku.
Umurnya hanya berbeda tiga tahun di atasku, bukan siapa-siapa melainkan saudara yang datang dari kampung beda kota sana, dia datang sebagai tamu yang di undang kakak sepupuku, sebab dia merupakan keponakan kakak iparku, kalau dalam silsilah tutur saudara dia bisalah menjadi paribanku dalam tutur batak.
Kurang lebih tiga tahun aku tidak berjumpa dengannya, sebab dia melanjutkan pendidikan Aliyah disalah satu pesantren ternama di kota Banda Aceh, bahkan aku saja lupa bagaimana wajahnya jika aku disuruh untuk mengingat.
Aku masih tetap melanjutkan sekolah di kota tempatku dilahirkan, Medan. Sehingga beriring sejalannya waktu aku sudah setahun lebih menjalankan dunia perkuliahan di perguruan tinggi swasta yang ada di Medan, aku tetap setia menunggu hari-hari sepi ini dengan sendiri, menunggu yang pergi agar lekas kembali.
Tidak hanya berkuliah, aku menjadi mahasiswi aktivis dan penerima salah satu beasiswa yang di berikan negara kepada kami yang berprestasi, selain menjadi mahasiswi aktivis aku juga tergolong sebagai salah satu kader ortonom yang sangat terkenal dikalangan organisasi islam. Masa-masa penitian masa depanku tidak kuhabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, melainkan semua kegiatan kampus yang aku ikut sertakan membawa dampak kebaikan ke arah yang benar, terlihat ketika saat ini aku memang sudah menjadi wanita muslimah yang sebenarnya.
Aku mulai mengenal hijab yang sesuai syariat islam dan aku mulai berhijrah dari masa-masa jahiliyahku dahulu. Kini aku sudah berpindah dari masa laluku, tidak ada lagi jeans dan gaun mini yang kukenakan, semua berubah setelah aku berkuliah di PTS yang aku pilih sekarang. Semoga saja apapun akhir dari prosesku akan membawaku kepada khusnul khatimah.
Sekarang aku sudah menjadi senior dalam masa orientasi mahasiswa baru, aku masih tetap merindukan hal-hal semestinya aku rindukan sejak tahun-tahun lalu yang kutinggalkan. Hari ini tepat di mana hari pembukaan Masta Kolosal kampusku, dan aku sebagai salah satu panitia dalam mesukseskan acara ini. Tiba-tiba tanpa kusadari ada pria yang memanggil namaku di tengah-tengah kesibukan ini.
“Assalamuallaikum, Ukh, Buk Yana.” Ujar pria tersebut dari jauh lalu menghampiriku setelah aku menoleh dan memandangnya.
“Iya siapa?”
“Ibuk lupa samaku? Andre buk, yang dulu datang dari Aceh, keponakan buk Warni dan om Iyan.” Katanya memastikan agar dia tidak salah orang
Drup seketika jantungku berhenti berdetak..
 “Bang Andre? Lah iya aku ingat. Subhannallahu, abang kuliah di sini juga? Mahasiswa baru FAI?” langsung spontan aku menjawabnya ketika kulihat pita yang ada di bahu kanannya.
“Iya buk, baru lanjut kuliah di sini kemarin di Ma’ad Ubaidah.” Jawabnya
“Aduh bang Yana buru-buru ini, gimana ya mau ngobrol sudah lama kita ndak ketemu.” Ujarku panik ketika melihat arloji.
“Yauda ini buk tinggalkan nomor WA ibuk nanti Andre chat saja ibuk.” Katanya sambil memberikan ponselnya kepadaku.
               **
Setelah tiga tahun lamanya, aku menunggunya di dalam sepi dan doa, sekarang aku harus menahan rindu kembali untuk menunggunya pulang ke-Indonesia. Pertemuan kedua kami pada acara Masta Kolosal itu adalah perpisahan hari-hari penuh rindu. Kami kembali berkomunikasi lagi lewat ponsel dan whattsapp tetapi tanpa kepastian meskipun kami sempat satu kampus dalam jangka waktu dua bulan, tidak ada pertemuan apalagi kencan berdua. Kami tetaplah seperti abang adik ataupun keponakan berdua, aku tetap sibuk dengan aktivitas kampusku dan dia tetap sibuk dengan kegiatannya yang mengurus berkas-berkas keberangkatan ke Sudan.
Pesan terakhir yang kudapat darinya dia masih saja tetap berkata kepadaku, tetap istiqamah dan janganlah pacaran, sebab ketika sudah menikah, rasa sayang dan rasa pacaran akan pergi pada masa-masa pacaran sebelum menikah.
Masih saja dia membunuhku dengan ketidakpastian kepergiannya, dia melanjutkan pendidikan ke Sudan, sudah sejak dahulu dia menginginkan kota Mesir itu sebagai tempat untuknya menuntut ilmu. Lain pula denganku yang menginginkan Negeri Van Orange untuk tujuan pendidikanku setelah tamat dari PTS ini. Aku tidak pernah menyerah, aku harus menjadi wanita yang terdidik rapi dibalut dengan akhlak serta ilmu yang bermanfaat.
Aku masih saja menggantungkan harapan untuk nikah muda, tetapi mengingat untuk menunggunya kembali ke­­-Indonesia, Andre akan kembali 5 tahun lagi terhitung sejak aku menjalankan semester 4 ini. Kalau ibu berkata semua sudah diatur Allah sejak 3 bulan di dalam rahim persoalan jodoh, rezeki dan maut. Tidak akan pernah tertukar apalagi sampai tidak sesuai dengan wakunya.
Sepertinya aku harus menunda niatku menikah muda sebelum aku berhasil menamatkan pendidikan di Negeri Kincir angin sana, aku akan terpelajar seperti Andre yang mampu bersaing dengan pelajar tingkat dunia. Meskipun jika aku tidak berjodoh dengan dia, setidaknya aku sudah memiliki bekal yang akan kubawa nanti ketika aku menjadi ibu ataupun wanita sholeha. Bukan karena dia melainkan perintah dan kewajiban dari Allah.
***
“Apalagi yang kau lamuni nak, bukankah ini memang keputusanmu, setelah selesai wisuda jika ada yang melamar kau akan menerimanya.” Ujar ibuku yang membuyarkan lamunanku di depan meja riasku.
“Iya bu, Ini keputusan yana, dan yana bahagia sebentar lagi akan menjadi istrinya, meskipun cita-cita yana melanjutkan kuliah ke Belanda harus di kubur bu.” Jawabku sambil meneteskan air mata yang membasahi pipi dan penutup wajahku.
“Nanti kalau ada rezekimu bisanya lanjut kuliah kesana, yasudah, setelah Andre selesai mengijab qobulkan ntar baru ibu tuntun keluarya nak. Sini ibuk benerin cadarmu miring ndok.” Kata ibuku memberiku semangat sambil membenarkan kain penutup wajahku.
“Saya terima nikahnya, Putri Kandung Bapak, Siti Khairyana binti Muhammad Naldi dengan seperangkat alat sholat dan mas kawin yang dibayar tunai.”
Kudengar dari balik tirai pembatas antara kamarku dan ruaang tamuku suara lantang andre mengucapkan ijab qobul dengan pasih dan lancar. Perlahan air mataku menetes haru sebab mimpiku dan doa-doaku di ijabah Allah sesuai dengan waktunya.
Ibu menggiringku keluar kamar dan menatahku untuk duduk bersebelahan dengan Andre yang sekarang sudah sah menjadi suamiku. Pak penghulu memintanya untuk memakaikan cincin di jari manisku, begitupun denganku memakaikan cincin yang tidak terbuat dari emas kuning ke jari manis Andre. Kugenggam jemarinya untuk menyium punggung tangannya, masih dingin kurasa jemari-jemarinya yang gugup untuk mengucap ijab qobul.
Dia senyum ketika mendapati mataku yang meneteskan air mata di hadapannya. Subhannallahu maha suci Allah, sangat indah kupandang wajahnya yang tidak pernah sebelumnya kubayangkan seperti ini.
**
“Kamu mau kado apa dinda, dari abangdamu ini yang selalu memberikan harapan palsu kepadamu saat kau minta fotokan namamu di kertas dengan menghadap ke rumah Allah di Ka’bah sana.” Tanyanya padaku setelah kutuangkan teh untuknya.
“Yana gak mau bi. Yana hanya mau bersampingan denganmu di surga Allah nanti. Bantu yana menjadi wanita shalihah bi.” Jawabku.
“Yana, sekarang engkau sudah menjadi wanita shalihah seperti yang aku pinta dengan Allah. Ini ambillah untukmu.” Lalu Andre memberikanku kotak.
Aku membuka kotak tersebut dengan perlahan, hatiku sungguh berdegup kencang tidak bisa di tebak, dia laki-laki pertama yang membuatku penasaran dan bahagia. Kudapati sebuah amplop yang berwarna cokelat.
“Apa ini bi?” kutanya dengan rasa penasaran.
“Baca sajalah, semoga adindaku suka dengan kado pernikahan kemarin yang belum sempat abi beri ke adinda.” Jawabnya sambil menyeruput teh buatanku.
“Subhannallahu, Abi ini serius? Adinda tidak salah membacakan bi.” Girangku kepadanya.
Setelah kudapati amplop yang berisi surat dan formulir pendaftaran calon mahasiswa baru untuk jalur sleksi Universitas Leiden, Belanda. Serta dua tiket pesawat bertujuan makkah. Hari ini adalah hari ke-lima kami setelah pernikahan dan ijab qobul, dulu aku pernah memimpikan untuk merasakan bulan madu di negara Sakura, ternyata Allah berkata lain.
Hadiah darinya tidak hanya penyempurna separuh agamaku, dia mampu mewujudkan mimpiku untuk melanjutkan S-2 di Belanda dengan tahap selangkah lagi untuk meraihnya begitu juga dia mampu menyempurna rukun islamku pada point ke-lima, mengerjakan haji bagi yang mampu.


Penulis adalah mahasiswi fkip umsu semester IV, pengiat di Literasi Kespera Medan serta pemimpi paling romantis. Semoga tulisannya menemukan takdir dan bernyawa nyata. cerpen sudah terbit di harian umum medan pos, 22 April 2018

Comments

Popular posts from this blog

CERPEN AKU BENCI HUJAN SORE ITU

AKU BENCI HUJAN SORE ITU Cerpen Rizki Alde a Hujan tak selamanya pantas dinikmati. Mungkin jutaan orang selalu ceria menikmati tetes demi tetes air dari langit, tapi aku adalah pembenci hujan. Karunia Tuhan itu adalah ketakutan meski ia selalu datang. Sore ini hujan , dan bersama dengan segelas kopi di depan jendela ruang tamu. Kuharap sore ini tidak seperti yang lalu . Aku menelanjangi ruangan yang penuh warna hijau . Aku teringat , hijau adalah warna kesukaanku dan Bima. Arlojiku menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi Bima tak juga kunjung menjemput. Aku tak mau berdiri di barisan ‘Para Tukang Terlambat’ hanya gara-gara telat ke sekolah. Kekesalanku belum selesai meski Bima sudah muncul di depan rumah dan membunyikan klakson sepedamotor. Bima memacu sepedamotornya dengan kencang. Hanya dalam waktu sepuluh menit, jarak 3 km ke sekolah mampu ditembus. Ia mengenderai seperti orang gila. Sampai di sekolah aku hanya diam dan langsung mengambil barisan paling depan ka

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **

PUISI 15 OKTOBER 2017

Seperangkat duka Rizki Aldea ( Permadiksi/ Fkip Umsu) Kau seharusnya sesak dalam bak mandi yang menyesak Menepikan basah dipercikan luka Akibat sabun yang menyayat hatimu Seharusnya kau keluar bodoh Untuk memberitahu kepada luka bahwa kau telah habis kumandikan dengan dosa Kita; Kata Rizki Aldea (permadiksi/ fkip umsu) Kita yang hanyut terbawa duka kepedihan Mulai berlabuhlah di semak semak belukar cinta Kita yang tenggelam dalam sesak tangis yang terisak Membawa bencana jauh setelah prosa di kumandangkan Kita adalah cinta yang menyisihkan luka disetiap kata Kita adalah pena jauh kekar dan keras dari yang kita aminkan Lelaki dan Sepatu Rizki Aldea (Permadiksi/FKIP UMSU) Dari balik jendela pudar yang kabur Diantara batuk dan hujan yang tak reda sejak pagi Aku mencintaimu masih seperti sepatu Yang tetap jalan meski selalu kejar kejaran Yang sama sama memudar meski menginjak becek yang mengkekar Yang sama sama berjalan meski berputar-