Skip to main content

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak rambutku. “Kira-kira kita sampai jam berapa ya? Kalau terus-terusan hujan kayak gini.” Ujar nabilah memecahkan suasana riuh kami dan hujan deras. “Sekitaran jam 3 pagi.” Lanjut bang Kiki dengan sikap dinginnya. “Sok cool bangetsih.” Ujarku dalam hati. Hari semakin malam dan hujan sedikit demi sedikit semakin mereda, ternyata bukan hanya kami yang menjadi korban hujan deras ada beberapa segerombolan pemuda yang akan menghadiri festival itu juga. Karena ferstival itu diadakan sekali dalam setahun. Biasanya pada akhir-akhir tahun tetapi untuk tahun ini bulan Juli menjadi bulan pilihan untuk mengadakan festival 1000 tenda tersebut. “Sudah reda, ayo kita lanjutkan perjalanan.” Ujar bang Kiki sambil menghidupkan asap rokoknya yang mati. “Bang Ki, si Asya samamu ya, aku cape bawa motor biar gantian sama Guntur.” Pinta Topan;temanku. “Lah aku gak mau sama bang Kiki, dia bawa kereta ngerih. Aku samamu ajaya Topan.” Pintaku agar tidak tukar posisi. “Mau naik gak? Atau kutinggal ini!” Tiba-tiba dia membentakku dan spontan aku langsung naik ke atas motor lalu menggenggam pinggangnya kuat-kuat. “Lah lebay banget sih belum lagi jalan, udah sekencang ini kau meramas pinggangku yang ada kita makin jatuh.” “Oh maaf bang. Jangan kencang-kencangya Asya takut hehe.” Ungkapku singkat. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan menutup kedua mataku serapat-rapatnya mengikuti alur perjalanan. Perjalanan kali ini tidak seperti perjalanan liburan yang sebelum-belumnya, aku sama sekali tidak menikmati perjalanan karena takut untuk melihat perjalanan yang kanan kirinya penuh dengan jurang ditambah lagi dengan keadaan yang kencang sekencang-kencangnya. Maklum saja ini adalah perjalanan pertamaku dengan teman-teman. Aku hanya berdoa agar keselamatan dan segala perlindungan terjaga untukku dan teman-temanku. Diperjalanan kami hanya diam, dia konsen dengan motor yang dikendarainya sedangkan aku konsen pada doa-doa yang kulontarkan. “Bang, Pelan-pelanya. Asya takut.” Kataku pelan kepadanya. “Iya udah pegangan aja." Dingin membuat kami saling mengunci pembicaraan dalam diam, jujur saja aku belum mengenalinya, sebab dia adalah senior tiga tahun diatasku. Ini adalah perjalanan pertamaku dengannya. Dan aku masih saja tetap diam dan menikmati perjalanan dengan menutup kedua mataku. Sudah tiga jam lebih aku duduk di motornya. Perasaanku kacau kenapa tempat yang kami tuju sejauh ini sehingga sudah 9 jam lebih di perjalanan. “Kamu kenapa dari tadi diam dan tutup mata sambil ngomel gak jelas.” Ujarnya kepadaku. “Ha apa? Dia tau aku tutup mata?” ujarku dalam hati. “Abang kok tau aku tutup mata.” Tanyaku dalam keadaan mata masih tertutup. “Yataulah akukan dari tadi liatin kamu dek dari kaca spion. Buka matamu jangan takut, lihat pemandangan indah ini?” ujarnya. Perlahan aku membuka mata dan menghirup udara sejuk pegunungan serta bukit-bukit indah Paropo. Mataku masih kebas akibat sepanjang perjalanan memejamkan mata. Masih samar-samar kulihat bentangan danau indah dan bukit-bukitnya. Aku melepaskan genggaman tanganku yang melingkar lembut di pinggangnya lalu mengucek mataku sambil tersenyum mesra kulihat ada beberapa pohon terjejer rapi dan sangat kecil kulihat di atas bukit sana. Subhannalahu ucapku kagum atas kuasa dan ciptaan-Nya yang indah ini. “Bang, kita udah sampe?” Tanyaku spontan kegirangan. “Belum, kita masih di tengah-tengah bukit. Kita akan turun sampe sana.” Tunjuknya dengan kanan kiri yang mengarah kebawah tepat di tepian Danau Toba. Aku senang tidak karuan di atas motor, mau kuabadikan perjalanan pagi ini dengan ponsel yang kuambil di kantong jeketku. Ternyata ponselku mati sehingga moment ini tidak dapat kuabadikan. “Kamu sih dari tadi tutup mata terus, lihatkan pemandangannya indah.” Katanya membuyarkan lamunanku. “Hehe iya bang, Asya takut kencang-kencang.” “Yaampun aku gak kencang bawa motor. Skrg sudah jam berapa?” “Jam 6 kurang 10 Menit bang.” “Wah perkiraanku kita sampe jam 3, gara-gara kamu nih aku jadi bawa motor pelan.” “Maaf bang.” Setelah 20 menit berlalu aku tidak lagi menutup kedua mataku, aku mulai menikmati perjalanan yang luar biasa ini. Aku sangat mengangumi keindahan Paropo, Samosir. Akan kuceritakan di dalam jurnal-jurnalku agar orang di luar Sumatera Utara tau bahwa Sumatera Utara memiliki surga dunia yang dapat dipandang mata. Kami sampai pada pukul setengah tujuh pagi. Betapa luar biasanya perjalanan ini melewati malam-malam dingin dan butuh waktu yang lama untuk sampai di sini. Ternyata benar jika ingin mendapatkan sesuatu yang indah ada perjuangan dan pengorbanan yang banyak untuk sampai dititik indahnya. Aku sudah menikmatinya sendiri. setelah melakukan perjalanan panjang, serta melewati badai kabut dan hujan terus menerus aku sampai pada akhir tujuan. Tempat ini mengajarkanku banyak pelajaran bagaimana sabar dan berhati-hati dalam melakukan perjalanan. ** Lelaki yang kumaksud adalah lelaki yang kukenal lewat dingin malam dan perjalanan panjang, aku baru saja mengenalnya di balik bukit Paropo hingga saat ini. Sepanjang perjalanan pergi dan pulang menjadi saksi betapa aku menikmati sebuah perjalanan. Saat ini jarak benar-benar menjadi pembatas antara aku dan dia. Tidak mengapa akhir Juli ini, semua penantian akan segera berakhir setelah menunggnunya kembali dari Negara Pendidikan untuk melanjutkan studinya di sana. Sudah 2 tahun ini dia membiarkanku menunggu dengan cincin manis yang melingkar di jari manisku. Hari ini aku tidak mendapatkan izin untuk kembali melanjutkan pendidikanku jika menyusulnya ke Australia. Terlalu jauh menurut kedua orangtuaku jika hanya ingin melanjutkan pendidikan. Masih banyak Universitas-universitas terbaik yang ada di Indonesia apalagi aku adalah anak perempuan satu-satunya. Tangis tak henti-hentinya membuatku berduka di saat cuaca secerah ini. Aku masih saja memikirkan tentang mimpiku dan usahaku untuk memantaskan prestasi. “Assalamuallaiku. Asya.” Ujar guruh di depan rumahku. “Sudah Ma biar Asya aja yang buka itu Guruh.” Kataku menahan Mama. “Baiklah.” Lalu aku meninggalkan Mama dan menuju pintu depan. “Waalaikum salam Ada apa gur? Aku gak diizinin sama Mama dan Ayah.” Jelasku kepadanya. “Ini ada titipan dari bang Kiki. Aku kesini hanya mau memberi ini.” Katanya sambil memberikan sebuah surat. “Apa ini?” tanyaku penasaran dan membaca sebuah undangan pernikahan yang tertulis nama seorang perempuan yang kukenal dekat dan lelaki yang sangat aku cintai. “Maafkan Abang sya, Abang tidak memberi tahumu dari awal kita kenal.” Tulisnya pada sebuah surat singkat yang terlampir di belakang kartu undangan. Mhd Rezeki dan Nabilah Tharifah. Nama lelaki tersebut adalah lelaki yang memberikanku sebuah cincin di tepian Danau Toba, Paropo pada Juli 3 tahun silam. Penulis adalah Mahasiswa Semester V FKIP Umsu dan penyuka senja, keindahan Tepian Danau toba membuatnya gagal Moveon. terbit di Harian Umum Medan Pos 19 Agustus 2018

Comments

Popular posts from this blog

CERPEN AKU BENCI HUJAN SORE ITU

AKU BENCI HUJAN SORE ITU Cerpen Rizki Alde a Hujan tak selamanya pantas dinikmati. Mungkin jutaan orang selalu ceria menikmati tetes demi tetes air dari langit, tapi aku adalah pembenci hujan. Karunia Tuhan itu adalah ketakutan meski ia selalu datang. Sore ini hujan , dan bersama dengan segelas kopi di depan jendela ruang tamu. Kuharap sore ini tidak seperti yang lalu . Aku menelanjangi ruangan yang penuh warna hijau . Aku teringat , hijau adalah warna kesukaanku dan Bima. Arlojiku menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi Bima tak juga kunjung menjemput. Aku tak mau berdiri di barisan ‘Para Tukang Terlambat’ hanya gara-gara telat ke sekolah. Kekesalanku belum selesai meski Bima sudah muncul di depan rumah dan membunyikan klakson sepedamotor. Bima memacu sepedamotornya dengan kencang. Hanya dalam waktu sepuluh menit, jarak 3 km ke sekolah mampu ditembus. Ia mengenderai seperti orang gila. Sampai di sekolah aku hanya diam dan langsung mengambil barisan paling depan ka

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **

PUISI 15 OKTOBER 2017

Seperangkat duka Rizki Aldea ( Permadiksi/ Fkip Umsu) Kau seharusnya sesak dalam bak mandi yang menyesak Menepikan basah dipercikan luka Akibat sabun yang menyayat hatimu Seharusnya kau keluar bodoh Untuk memberitahu kepada luka bahwa kau telah habis kumandikan dengan dosa Kita; Kata Rizki Aldea (permadiksi/ fkip umsu) Kita yang hanyut terbawa duka kepedihan Mulai berlabuhlah di semak semak belukar cinta Kita yang tenggelam dalam sesak tangis yang terisak Membawa bencana jauh setelah prosa di kumandangkan Kita adalah cinta yang menyisihkan luka disetiap kata Kita adalah pena jauh kekar dan keras dari yang kita aminkan Lelaki dan Sepatu Rizki Aldea (Permadiksi/FKIP UMSU) Dari balik jendela pudar yang kabur Diantara batuk dan hujan yang tak reda sejak pagi Aku mencintaimu masih seperti sepatu Yang tetap jalan meski selalu kejar kejaran Yang sama sama memudar meski menginjak becek yang mengkekar Yang sama sama berjalan meski berputar-