Oleh:
Rizki Aldea
Di sekat-sekat jendela
kutemui beberapa sajak
yang bergelantungan di sisi-sisi gorden merah. Kurasa itu cinta yang coba bersemayam
menjadi luka.
Ini suratku yang kesekian kalinya, kurangkai dengan
sepenuh hati, untuk
menyadarkanmu
bahwa segala sesuatu yang terburu-buru
itu tidak akan berakhir baik. Padahal baru kemarin canda
tawa kita goreskan cerita,
tentang kita berdua yang mencoba tetap bahagia meskipun segala kekurangan kita
rasakan nyata. Kemarin kulihat
di mading kampus,
fotomu terpampang gagah, kau telah menjuarai lomba
puisi cinta. Aku masih ingat dan hapal isi
puisinya.
Kemarin Ibuku juga
bertanya tentang dirimu,
mengapa kau lama tak main kerumah, aku hanya menjawab “Dia sibuk dengan
skripsinya Ma,”. Aku lupa bercerita
semalam aku juga baru selesai membaca buku yang kau belikan. Maaf aku lama
menyelesaikannya. Hari-hariku sibuk untuk memikirkanmu dan merangkaimu lewat
puisi-puisiku.
Kau masih ingat tiga tahun lalu kita bertemu di
acara pesta ulang tahun Puja, mantanmu. Aku datang bersama Vina dan
teman-temanku sedangkan kau datang bersama Barry dan teman-temanmu. Saat itu kulihat kau
di depan panggung memberikan kado untuk
kekasihmu, Puja. Kau membacakan dua bait puisi cinta yang sangat romantis dihadapan orang tua Puja
serta tamu undangan yang lainnya.
Ketika itu aku sangat mengagumimu sebab kulihat kau sangat antusias untuk
membuat kekasihmu bahagia di hari kelahirannya.
Di saat itulah kita berjumpa dan kita berjabat
tangan. Kau kenalkan namamu serta akun sosial
mediamu. Tanpa kusadari terhitung sepuluh menit kita berkenalan Kau langsung
akrab denganku. Dengan tingkahmu yang humoris Kau buat Aku dan Puja tertawa
secara bersamaan. Apa kau masih ingat ketika Kau berkata di depan Puja.
“Jangan takut Puja aku tidak akan berpaling darimu,
kecuali bersama Mega,”
“Aku tidak cemburu, Mega bukan tipe perempuan
seperti itu.” Jawab mananmu itu,
Aku tau kalian sedang bercanda. Mana mungkin kau rela berpaling dari Puja yang
cantik demi aku.
Selepas acara ulang tahun Puja kita pun mulai
berkomunikasi, Aku tak mencoba mengganggumu, Kau yang mengikutiku dalam akun
instagramku lalu mengomentari
salah satu postinganku. Kau
berulang kali menghubungiku beralasan “Apa
kabar mega?”. Kau yang hobby dengan
puisi-puisi sedangkan Aku yang hobby dengan sajak-sajak yang berlari, bahkan kita saling
beradu makna.
Aku tidak bermaksud mengganggumu. Suatu ketika Aku yang
baru sadar bahwa kita satu kampus.
Kita yang berkuliah di satu
Universitas tetapi beda fakultas.
Kau yang menekuni teknik sedangkan aku menekuni sajak. Entah rencana apa yang Tuhan
berikan sehingga Kau membantuku membenarkan mesin kendaraanku saat mogok di parkiran. Selepas itu kita duduk
berdua untuk sekadar meminum kopi.
Kita bercanda dengan segala keanehan yang kau lontarkan. Tanpa kita sadari kita beradu
agrumentasi membahas politik Negeri. Kau tak setuju dengan pendapatku sedangkan
Aku begitu, Kau lupa dan akhirnya Kau menyetujuinya. Kau memang aneh dan itulah
dirimu.
Setahun berlalu kita dengan kehidupan kita yang
sekarang. Maaf Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kau katakan setahun lalu Kau putus
dengan Puja tanpa memberitahuku. Kau bilang dia mengkhianatimu mencintai pria
lain di belakangmu. Apa yang dapat kupercaya? Setahun lalu kita jalanin berdua,
kita pergi ke tempat yang Kau sukai, kadang kita saling beralasan ingin membeli
buku bacaan bersama. Kita pergi seharian hingga kita bahagia. Sudah kukatakan Aku
tidak bermaksud mengganggumu. Kau pisah dengan Puja dan mencoba mendekatiku.
Kita saling nyaman hingga semua persamaan lahir di diri kita. Kau marah jika kusebut nama Puja, Kau bilang Aku mengundang
luka. Sudahlah ini cerita tentang kita bukan tentang mantanmu yang kukenal
lewat Vina.
Masih kuingat jelas kita bertaruh main catur dan
siapa yang kalah membayar semua tagihan. Aku kalah tetapi kau masukkan uang ke
saku tasku Kau bilang pura-pura kubayar tetapi pakai uangmu. Aduh betapa
romantisnya makhluk Tuhan yang ini. Kita pulang berdua dari caffe yang sering kita pesan kopi. Kita
selalu memiliki persamaan, Kau suka novel, Kau suka puisi, sampai Kau suka
kopi, Aku pun
juga. Atau jangan-jangan Kau yang selalu mengikutiku.
Sampai suatu malam, Kau ingin mengantarku pulang
lalu di perjalanan ban motor
kita bocor dan kita tidak temui satupun tukang tambal ban di sekitar jalanan.
Kita mendorong motor
cukup jauh,
masih kuingat jelas saat kau bilang. “Maafkan Aku, Aku janji tidak akan membuatmu
susah seperti ini.” Ya tuhan
selalu ada hal istimewa dari hambamu yang satu ini. Semua hal sederhana Kau buat
jadi istimewa. Malam
itu juga menjadi malam kita berdua, setelah kita dapat tukang tambal ban, kita
duduk dan dikelilingi bintang-bintang di langit yang meredup. Masih sangat
kuingat Kau bilang Kau sayang padaku kau ingin menyudahi pertemanan ini dengan
menjalin hubungan denganku. Apa kau
masih ingat?
“Aku gak
bisa rado, ketika kita pacaran nanti saat-saat indah seperti ini akan mudah
hilang. Ketika kita bosan, kita akan dengan mudahnya untuk menyudahinya. Aku
sayang sama kamu,
kita berteman saja. Aku tidak mau
kita menjadi jauh.” Hanya itu jawabanku, tetapi kau meyakiniku dengan penuh
sehingga aku luluh. Sebenarnya berat kukatakan iya. Karena aku takut kita akan
menjadi jauh setelah hubungan ini.
Setelah kau dapati aku, kita semakin dekat. Setiap
hari bahkan setiap jam kita selalu bersama. Sampai-sampai ibuku heran melihat
aku yang semakin bersemangat bangun. Kau jemput dengan kendaraan alakadarmu.
Hari-hariku lebih hidup dari sekedar novel cinta yang aku baca sebelumnya.
Masih kuingat hari jadi kita sebulan,
kau hadiahkan aku sebuah novel cinta yang sangat aku kagumi.
Sampai kau berkata.
“Aku tidak butuh setahun buat memilikimu utuh, hanya
dengan waktu 30 hari aku bisa lebih bahagia dari setahun sebelumnya kita dekat.
Selamat 30 hari Mega, aku sayang padamu.” Aduhh hanya dengan sebuah novel dan
selembar surat cinta membuatku terbang melayang bak di udara.
Hari terus
berganti, kita mulai renggang dengan kesibukan masing-masing. Kau masih dengan
rutinitasmu dan aku dengan kesibukanku. Semester akhir membuatmu menjauh
dariku, sedangkan aku yang masih semester
6 dalam bangku perkulihan hanya bisa bersabar
menunggumu.
Pada saat kita berjumpa di pendopo kampus. Aku masih ingat jelas
kau bilang “ Aku
akan sangat sibuk di
akhir semestermu ini, karena banyak hal yang harus kuselesaikan,”.
Aku sangat bahagia ketika kau bertanya pendapatku tentang puisi yang akan kau
lombakan. Acara
itu Kau ikuti demi Aku, puisi itu juga tentangku, Aku hanya senyum dan
berbangga dalam hati ketika Kau sebut namaku dalam puisi itu.
Aku tak banyak menuntut kabar darimu, kian hari
setelah perjumpaan kita terakhir,
Kau sangatlah tidak bisa membagi waktu sedikit saja untukku. Semakin
lama aku semakin asing. Aku semakin segan untuk kembali menghubungimu, bukankah
kita pernah mengukir canda bersama. Kini aku seperti berjuang sendiri.
Kau yang semakin sibuk hingga lupa denganku,
yang pasti kita sangatlah berbeda dari yang kita harapkan dulu.
Siang sore malam Aku menunggu, sudah hampir setahun Aku
menunggu klakson motormu
di depan rumahku, Aku dengan kesendirianku sedangkan kamu dengan teman-temanku.
Aku tidak berani menanyakan
kabarmu, entah mengapa aku menjadi sepecundang ini. Padahal dulu Aku sering
menghubungimu apalagi sekedar menyapa pagimu.
Belakangan ini aku sering mengirim surat tetapi satu
surat pun
tidak berbalas, setahuku surat itu selalu sampai ke kotak surat depan rumahmu.
Entah kenapa Aku lebih suka menulis surat daripada mengirim pesan singkat ke
akun sosmedmu. apa
karena dulu Kau sering mengirimku surat lewat jendela sehingga membuatku
membalas surat-suratmu sekarang.
Hari ini Aku sangat merindukanmu, Aku setia
menunggumu kembali di perapaian rumah ini, entah menunggumu kembali entah
menunggu cintamu kembali. Entah sakitan mana Do, kehilangan kamu dan sama sekali enggak berteman sama kamu apa bertahan terus
seperti ini.
***
Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat di depan layar nomor Rado
memanggil. Akhirnya dia meneleponku
belum sempat selesai surat terakhir ini kubuat.
“Hallo ini Mega? Mega maafkan aku, aku harus
menyudahi hubungan ini, besok aku akan bertunangan dengan Puja. Maafkan aku
sekali lagi.”.
(penulis
lahir di medan, 29 november 1998, penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU semester
III, penulis tercatat sebagai anggota aktif di PERMADIKSI UMSU dan Forum
diskusi KESPERA Medan.)
Comments