Skip to main content

CERPEN MEDAN POS 10 September 2017



SURAT TERAKHIR UNTUK RADO
Oleh: Rizki Aldea
Di sekat-sekat jendela kutemui beberapa sajak yang bergelantungan di sisi-sisi gorden merah. Kurasa itu cinta yang coba bersemayam menjadi luka.
Ini suratku yang kesekian kalinya, kurangkai dengan sepenuh hati, untuk menyadarkanmu bahwa segala sesuatu yang terburu-buru itu tidak akan berakhir baik. Padahal baru kemarin canda tawa kita goreskan cerita, tentang kita berdua yang mencoba tetap bahagia meskipun segala kekurangan kita rasakan nyata. Kemarin kulihat di mading kampus, fotomu terpampang gagah, kau telah menjuarai lomba puisi cinta. Aku masih ingat dan hapal isi puisinya.
Kemarin Ibuku juga bertanya tentang dirimu, mengapa kau lama tak main kerumah, aku hanya menjawab Dia sibuk dengan skripsinya Ma,”. Aku lupa bercerita semalam aku juga baru selesai membaca buku yang kau belikan. Maaf aku lama menyelesaikannya. Hari-hariku sibuk untuk memikirkanmu dan merangkaimu lewat puisi-puisiku.
Kau masih ingat tiga tahun lalu kita bertemu di acara pesta ulang tahun Puja, mantanmu. Aku datang bersama Vina dan teman-temanku sedangkan kau datang bersama Barry dan teman-temanmu. Saat itu kulihat kau di depan panggung memberikan kado untuk kekasihmu, Puja. Kau membacakan dua bait puisi cinta yang sangat romantis dihadapan orang tua Puja serta tamu undangan yang lainnya. Ketika itu aku sangat mengagumimu sebab kulihat kau sangat antusias untuk membuat kekasihmu bahagia di hari kelahirannya.
Di saat itulah kita berjumpa dan kita berjabat tangan. Kau kenalkan namamu serta akun sosial mediamu. Tanpa kusadari terhitung sepuluh menit kita berkenalan Kau langsung akrab denganku. Dengan tingkahmu yang humoris Kau buat Aku dan Puja tertawa secara bersamaan. Apa kau masih ingat ketika Kau berkata di depan Puja.
“Jangan takut Puja aku tidak akan berpaling darimu, kecuali bersama Mega,”
“Aku tidak cemburu, Mega bukan tipe perempuan seperti itu.” Jawab mananmu itu, Aku tau kalian sedang bercanda. Mana mungkin kau rela berpaling dari Puja yang cantik demi aku.
Selepas acara ulang tahun Puja kita pun mulai berkomunikasi, Aku tak mencoba mengganggumu, Kau yang mengikutiku dalam akun instagramku lalu mengomentari salah satu postinganku. Kau berulang kali menghubungiku beralasan Apa kabar mega?”. Kau yang hobby dengan puisi-puisi sedangkan Aku yang hobby dengan sajak-sajak yang berlari, bahkan kita saling beradu makna.
Aku tidak bermaksud mengganggumu. Suatu ketika Aku yang baru sadar bahwa kita satu kampus. Kita yang berkuliah di satu Universitas tetapi beda fakultas. Kau yang menekuni teknik sedangkan aku menekuni sajak. Entah rencana apa yang Tuhan berikan sehingga Kau membantuku membenarkan mesin kendaraanku saat mogok di parkiran. Selepas itu kita duduk berdua untuk sekadar meminum kopi. Kita bercanda dengan segala keanehan yang kau lontarkan. Tanpa kita sadari kita beradu agrumentasi membahas politik Negeri. Kau tak setuju dengan pendapatku sedangkan Aku begitu, Kau lupa dan akhirnya Kau menyetujuinya. Kau memang aneh dan itulah dirimu.
Setahun berlalu kita dengan kehidupan kita yang sekarang. Maaf Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kau katakan setahun lalu Kau putus dengan Puja tanpa memberitahuku. Kau bilang dia mengkhianatimu mencintai pria lain di belakangmu. Apa yang dapat kupercaya? Setahun lalu kita jalanin berdua, kita pergi ke tempat yang Kau sukai, kadang kita saling beralasan ingin membeli buku bacaan bersama. Kita pergi seharian hingga kita bahagia. Sudah kukatakan Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kau pisah dengan Puja dan mencoba mendekatiku. Kita saling nyaman hingga semua persamaan lahir di diri kita. Kau marah jika kusebut nama Puja, Kau bilang Aku mengundang luka. Sudahlah ini cerita tentang kita bukan tentang mantanmu yang kukenal lewat Vina.
Masih kuingat jelas kita bertaruh main catur dan siapa yang kalah membayar semua tagihan. Aku kalah tetapi kau masukkan uang ke saku tasku Kau bilang pura-pura kubayar tetapi pakai uangmu. Aduh betapa romantisnya makhluk Tuhan yang ini. Kita pulang berdua dari caffe yang sering kita pesan kopi. Kita selalu memiliki persamaan, Kau suka novel, Kau suka puisi, sampai Kau suka kopi, Aku pun juga. Atau jangan-jangan Kau yang selalu mengikutiku.
Sampai suatu malam, Kau ingin mengantarku pulang lalu di perjalanan ban motor kita bocor dan kita tidak temui satupun tukang tambal ban di sekitar jalanan. Kita mendorong motor cukup jauh, masih kuingat jelas saat kau bilang. “Maafkan Aku, Aku janji tidak akan membuatmu susah seperti ini.” Ya tuhan selalu ada hal istimewa dari hambamu yang satu ini. Semua hal sederhana Kau buat jadi istimewa. Malam itu juga menjadi malam kita berdua, setelah kita dapat tukang tambal ban, kita duduk dan dikelilingi bintang-bintang di langit yang meredup. Masih sangat kuingat Kau bilang Kau sayang padaku kau ingin menyudahi pertemanan ini dengan menjalin hubungan denganku. Apa kau masih ingat?
“Aku gak bisa rado, ketika kita pacaran nanti saat-saat indah seperti ini akan mudah hilang. Ketika kita bosan, kita akan dengan mudahnya untuk menyudahinya. Aku sayang sama kamu, kita berteman saja. Aku tidak mau kita menjadi jauh.” Hanya itu jawabanku, tetapi kau meyakiniku dengan penuh sehingga aku luluh. Sebenarnya berat kukatakan iya. Karena aku takut kita akan menjadi jauh setelah hubungan ini.
Setelah kau dapati aku, kita semakin dekat. Setiap hari bahkan setiap jam kita selalu bersama. Sampai-sampai ibuku heran melihat aku yang semakin bersemangat bangun. Kau jemput dengan kendaraan alakadarmu. Hari-hariku lebih hidup dari sekedar novel cinta yang aku baca sebelumnya. Masih kuingat hari jadi kita sebulan, kau hadiahkan aku sebuah novel cinta yang sangat aku kagumi. Sampai kau berkata.
“Aku tidak butuh setahun buat memilikimu utuh, hanya dengan waktu 30 hari aku bisa lebih bahagia dari setahun sebelumnya kita dekat. Selamat 30 hari Mega, aku sayang padamu.” Aduhh hanya dengan sebuah novel dan selembar surat cinta membuatku terbang melayang bak di udara.
Hari terus berganti, kita mulai renggang dengan kesibukan masing-masing. Kau masih dengan rutinitasmu dan aku dengan kesibukanku. Semester akhir membuatmu menjauh dariku, sedangkan aku yang masih semester 6 dalam bangku perkulihan hanya bisa bersabar menunggumu.
Pada saat kita berjumpa di pendopo kampus. Aku masih ingat jelas kau bilang “ Aku akan sangat sibuk di akhir semestermu ini, karena banyak hal yang harus kuselesaikan,”.  Aku sangat bahagia ketika kau bertanya pendapatku tentang puisi yang akan kau lombakan. Acara itu Kau ikuti demi Aku, puisi itu juga tentangku, Aku hanya senyum dan berbangga dalam hati ketika Kau sebut namaku dalam puisi itu.
Aku tak banyak menuntut kabar darimu, kian hari setelah perjumpaan kita terakhir, Kau sangatlah tidak bisa membagi waktu sedikit saja untukku. Semakin lama aku semakin asing. Aku semakin segan untuk kembali menghubungimu, bukankah kita pernah mengukir canda bersama. Kini aku seperti berjuang sendiri. Kau yang semakin sibuk hingga lupa denganku, yang pasti kita sangatlah berbeda dari yang kita harapkan dulu.
Siang sore malam Aku menunggu, sudah hampir setahun Aku menunggu klakson motormu di depan rumahku, Aku dengan kesendirianku sedangkan kamu dengan teman-temanku. Aku tidak berani menanyakan kabarmu, entah mengapa aku menjadi sepecundang ini. Padahal dulu Aku sering menghubungimu apalagi sekedar menyapa pagimu.
Belakangan ini aku sering mengirim surat tetapi satu surat pun tidak berbalas, setahuku surat itu selalu sampai ke kotak surat depan rumahmu. Entah kenapa Aku lebih suka menulis surat daripada mengirim pesan singkat ke akun sosmedmu. apa karena dulu Kau sering mengirimku surat lewat jendela sehingga membuatku membalas surat-suratmu sekarang.
Hari ini Aku sangat merindukanmu, Aku setia menunggumu kembali di perapaian rumah ini, entah menunggumu kembali entah menunggu cintamu kembali. Entah sakitan mana Do, kehilangan kamu dan sama sekali enggak berteman sama kamu apa bertahan terus seperti ini.
***
Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat di depan layar nomor Rado memanggil. Akhirnya dia meneleponku belum sempat selesai surat terakhir ini kubuat.
“Hallo ini Mega? Mega maafkan aku, aku harus menyudahi hubungan ini, besok aku akan bertunangan dengan Puja. Maafkan aku sekali lagi.”.
(penulis lahir di medan, 29 november 1998, penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU semester III, penulis tercatat sebagai anggota aktif di PERMADIKSI UMSU dan Forum diskusi KESPERA Medan.)

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak r...

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sho...

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **...