Skip to main content

CERPEN MAAFKAN AKU, MAMAK








Maafkan Aku, Mamak
Cerpen: Rizki Aldea
“Makanlah Nak, sudah tiga hari nasi tidak menyentuh lambungmu.” Kusentuh rambutnya berharap menerima ajakanku.
“Aku masih kenyang mak, Mamak aja makan sana.” Lalu air mata mengalir di pipi kirinya.
Tidak pernah kulihat sebelumnya anak kesayanganku ini sedih. Matanya sembab ketika aku menghampirinya di kamar yang berukuran kecil untuk anak gadis seusianya.
Biasalah cinta selalu menjadi masalah yang utama ketika ia beranjak dewasa. Memiliki sifat yang sangat tertutup merupakan kesulitan yang paling sulit untuk menjelaskan kepadaku segala resah gulana yang ada dihatinya.
Usianya masih 18 tahun, remaja yang masih dalam tahap pencarian jati diri. Masih suka bermain-main ketika membahas cinta. Sudah kukatakan sebelum memasuki dunia perkuliahan kepadanya “Di kampus ada banyak laki-laki, dan Mamak harap kamu tidak perlu memberikan respon yang lebih untuk laki-laki yang bukan teman kamu.”
Tidak ada yang bisa kulakukan sebagai Ibu selain menasehati anakku, selebih itu dirinya sendirilah yang membatasi dirinya untuk memilih segala yang terbaik. Anakku ini sangat cantik sehingga kekhawatiranku sangat besar ketika aku harus melepaskannya berkuliah diluar dari daerah tempat tinggal kami. Anakku yang sangat manis untuk kalangan remaja sepertinya,  ia memiliki lesung pipi di kanan dan kiri pipinya, tubuh yang semampai dengan berkulit kuning langsat membuat daya tarik tersendiri bagi lelaki yang melihatnya. Tidak hanya rupanya yang cantik jelita tetapi prestasi yang luar biasapun ia punya.
 Ia lulus disalah satu PTN yang ada di Jakarta dengan beasiswa yang diraihnya, sehingga membantuku dalam biaya perkuliahan, bujukannya pun membuatku luluh untuk melepaskannya jauh dariku. Bagaimana tidak, anakku ini sangat penurut denganku, sehingga akupun tidak bisa untuk menolak permintaannya. Apalagi Universitas ini adalah Universitas yang sangat diimpi-impikannya, setelah belajar yang bersungguh-sungguh akhirnya Tuhan mengabulkan permintaannya. Dan aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan bahwa inilah yang terbaik untuknya.
**
 Kepergian kakaknya membuatku trauma, sehingga aku tidak berani lagi memaksa anakku untuk mengikuti kemauanku, dan sekarang setelah suamiku meninggal, hanya dialah satu-satunya harta yang kupunya. Harta paling berharga di buah hatiku.
“Kamu mau kemana Din? Makan duluya baru pergi.” Ujarku melihat anakku memakai sepatu di depan mesin jahitku.
“Dini mau pergi mak sama teman SMA. Dini rindu, ntar kami makan di luar mak.”
“Yasudah kalau begitu kamu hati-hatiya. Kalau mamak boleh tau dengan siapa kamu pergi?”
“Dengan Anggi mak.” Jawabnya datar dan dia langsung bergegas meninggalkanku yang masih duduk di bangku mesin jahitku.
**
Kulirik jam yang menempel di dinding ruang tengah, sudah pukul 9 Dini belum juga kembali, fikiranku berkecambuk antara ingin menelepon orang tua anggi temannya apa berdiam diri menunggunya di rumah. “Sebaiknya kutunggu saja setengah jam lagi.” Aku berusaha menenangkan fikiranku. Tiba-tiba suara motor berhenti di depan rumahku.
“Dini, kamu dari mana saja? Kok laki-laki yang ngantar?” sahutku di balik pintu setelah mengintipnya dari jendela.
“Engga mak, itu ojek online.” Jawabnya datar.
“Dini kamu kenapa sayang, wajahmu kok pucat sekali. Kamu sudah makan?” kupandang wajahnya yang pucat.
“Aku gak kenapa-kenapa mak, udah ya mak aku mau tidur dulu.”
“Kalau kamu sakit bilang mamak ya nak, jangan diam aja.”
Bruaaaakkkkkk. Pintu kamarnya pun menghantam dinding.
**
“Selamat pagi Mak.”
Sahutnya dari balik gorden pembatas antara dapur dan ruang tengah.
“Tumben din pagi-pagi keluar kamar, sarapan sini sama mamak, udah buatin sup kesukaan kamu.”
“Dini rindu mamak, pengen peluk mamak. Maafin dini ya mak.”
“Iya sayang sini peluk mamak, kamu gak ada salah kok. Kamukan anak mama gak mungkin mamak engga maafin kamu.”
Lalu tangannya kembali menyentuh tubuhku dan memelukku erat.
“Kamu pasti laparkan, badan kamu dingin karena nangis terus dan malah enggak makan. Sini ya mamak suap. Harus mau.” Lalu kamipun hanyut dalam canda tawa di meja makan.
“Mak, Besok dini balik ke Jakarta ya. Soalnya lusa sudah ujian.” Tiba-tiba wajahnya menatapku sangat dalam.
“Yauda iya, tapi ingat jangan nangis-nangis apalagi sampek enggak makan di sana.”
Tidak terasa sudah dua minggu ia menemaniku di rumah dan akan kembali di perantauan sana, hanya doa yang bisa kuberikan agar selalu dalam lindungan Tuhan. Sudah kupersiapkan segala kebutuhannya yang akan dibawanya untuk kembali ke Jakarta. Seperti biasanya dia selalu memintaku untuk menjahitkan sapu tangan yang akan dibawanya.
**
Malam ini aku sangat merindukannya, di luar hujan gerimis merintih seolah-olah menangis, aku bisa merasakan bagaimana perasaan seorang Ibu yang harus merelakan jauh berada dari putrinya. Hujan semakin deras di luar bersama cahaya kilat yang menyambar-nyambar.
 Aku sangat mengerti bagaimana anakku. Ia sangat takut dengan petir dan hujan. Lalu aku bergegas untuk menemuinya di kamar. Dan petirpun semakin kuat mencabik-cabik langit hitam.
“Din? Kamu sudah tidur nak? Mamak pengen tidur di kamar kamu? Di luar hujan mama takut tolong buka pintunya.”
Senyap tanpa suara. Lalu pintu kamarnya tidak di kunci dan aku langsung masuk kekamarnya yang gelap dan menghidupkan lampu, “Ya Tuhan Diniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!”
Darah dan jamu berada di kamar anak gadisku.


Penulis adalah mahasiswa semester III Pend Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU. Aktif di salah satu kelompok diskusi sastra KESPERA MEDAN. Pemilik akun instagram @rzkaldea serta sangat menyukai kopi dan hujan.

Comments

Popular posts from this blog

CERPEN AKU BENCI HUJAN SORE ITU

AKU BENCI HUJAN SORE ITU Cerpen Rizki Alde a Hujan tak selamanya pantas dinikmati. Mungkin jutaan orang selalu ceria menikmati tetes demi tetes air dari langit, tapi aku adalah pembenci hujan. Karunia Tuhan itu adalah ketakutan meski ia selalu datang. Sore ini hujan , dan bersama dengan segelas kopi di depan jendela ruang tamu. Kuharap sore ini tidak seperti yang lalu . Aku menelanjangi ruangan yang penuh warna hijau . Aku teringat , hijau adalah warna kesukaanku dan Bima. Arlojiku menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi Bima tak juga kunjung menjemput. Aku tak mau berdiri di barisan ‘Para Tukang Terlambat’ hanya gara-gara telat ke sekolah. Kekesalanku belum selesai meski Bima sudah muncul di depan rumah dan membunyikan klakson sepedamotor. Bima memacu sepedamotornya dengan kencang. Hanya dalam waktu sepuluh menit, jarak 3 km ke sekolah mampu ditembus. Ia mengenderai seperti orang gila. Sampai di sekolah aku hanya diam dan langsung mengambil barisan paling depan ka

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **

PUISI 15 OKTOBER 2017

Seperangkat duka Rizki Aldea ( Permadiksi/ Fkip Umsu) Kau seharusnya sesak dalam bak mandi yang menyesak Menepikan basah dipercikan luka Akibat sabun yang menyayat hatimu Seharusnya kau keluar bodoh Untuk memberitahu kepada luka bahwa kau telah habis kumandikan dengan dosa Kita; Kata Rizki Aldea (permadiksi/ fkip umsu) Kita yang hanyut terbawa duka kepedihan Mulai berlabuhlah di semak semak belukar cinta Kita yang tenggelam dalam sesak tangis yang terisak Membawa bencana jauh setelah prosa di kumandangkan Kita adalah cinta yang menyisihkan luka disetiap kata Kita adalah pena jauh kekar dan keras dari yang kita aminkan Lelaki dan Sepatu Rizki Aldea (Permadiksi/FKIP UMSU) Dari balik jendela pudar yang kabur Diantara batuk dan hujan yang tak reda sejak pagi Aku mencintaimu masih seperti sepatu Yang tetap jalan meski selalu kejar kejaran Yang sama sama memudar meski menginjak becek yang mengkekar Yang sama sama berjalan meski berputar-