Skip to main content

ayo jadi bidadari surga atau bidadari dunia?

Dua perempuan muda datang untuk menghadiri rapat, menggunakan baju yang cukup terbuka. Setelah mengamat-amati dengan seksama penampilan kedua peremupuan itu, ini yang dikatakan sang Kepala pada mereka, yang mungkin saja tidak akan pernah mereka lupakan.

Ia menatap lurus-lurus ke arah dua perempuan di hadapannya, dan mengatakan, “Ladies, apapun yang diciptakan berharga di dunia ini entah itu tertutup rapat, sulit untuk dilihat, ditemukan atau didapatkan.”

1. Dimana kamu dapat menemukan berlian? Jauh di dalam tanah, tertutup, dan dilindungi.

2. Dimana kamu dapat menemukan mutiara? Jauh di dalam samudra, tertutup, dan dilindungi oleh cangkang yang indah.

3. Dimanakah kamu dapat menemukan emas? Jauh di dalam tambang, ditutupi dengan berlapis-lapis bebatuan, dan untuk mendapatkannya kamu harus bekerja keras dan menggalinya.

Ia menatap kedua perempuan muda itu dengan tatapan serius, dan berkata:

“Tubuhmu suci dan unik. Kamu jauh lebih berharga dari emas, berlian, dan mutiara, dan kamu juga harus ditutupi.” Ia kemudian menambahkan. “Jika kamu menjaga hartamu seperti emas, berlian, dan mutiara, ditutup dengan rapat, perusahaan tambang ternama dengan pekerjanya yang kompeten akan datang dan melakukan eksplorasi yang luas.”

Untuk menjelaskan, ia kemudian berkata, “Pertama, mereka akan menghubungi pemerintahmu (keluarga), menandatangani kontrak profesional (pernikahan), dan memilikimu secara profesional (pernikahan yang legal). Tapi jika kamu terus-menerus membiarkan hartamu yang berharga tidak tertutupi, kamu akan selalu menarik penambang ilegal untuk datang dan menambangmu secara ilegal. Semua orang hanya akan mengambil instrumen mentah dan menggali dengan bebas. Jadi, jagalah tubuhmu tertutup maka kamu akan mengundang datangnya penambang profesional untuk mengejarmu.”

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Juli dan Lelaki di Tepi Paropo

Oleh: Rizki Aldea Langit pukul lima sore masih saja merekah orange memeluk tangis yang kutumpahkan dari balik kelopak mataku akibat tidak mendapat izin dari orangtua. Masih saja Ayah Ibu menganggapku putri kecilnya seperti 14 tahun silam. Aku kembali menyekat sisa-sisa air mata yang basah di pipi sambil mengambil ponsel yang dari tadi bergetar di atas meja belajarku. “Hallo Gur, ada apa?” tanyaku menggangkat panggilan masuk dari salah satu teman SMA ku. “Kau jadi ikut? Kalau jadi sama bang Rehan.” Katanya memburu-buru. “Maaf Gur aku gak bisa.” Kataku dan perlahan air mataku jatuh. “Lah iyanya? Yauda tungguya.” Tibatiba panggilannya terputus. *** Kulirik arlojiku waktu masih menunjukkan pukul setengah Dua Belas. Hujan dan kabut tebal masih menjadi penghalang kami untuk sampai tepat waktu di festival 1000 tenda Paropo, Tao Toba Silalahi. “Untung aku yang ngizinin kau kan mengkanya mamak kau bolehin kau pigi, mengkanya kau berterimakasih samaku.” Kata guruh sahabatku sambil mengacak r...

Ramadhan dan Lelaki Pilihan Ibu

Cerpen: Rizki Aldea Kumandang lafaz Allah sudah terdengar merdu di telinga, hari-hari penuh ibadah ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang yang sangat merindukannya. Alhamdullillah masih berjumpa dengan bulan ini. Masih diberi umur panjang oleh-Nya. Berkat doa-doa tahun lalu agar tetap diberi kesehatan dan kesempatan untuk berjumpa lagi. “Mari Sa, sudah mau adzan isya.” Ibu memanggilku dari depan rumah. “Iyabu sebentar masih cari mukenah baru.” Jawabku dari dalam kamar. “Yaampun kamu ini masih saja seperti anak baru besar yang apa-apa harus baru. Pake yang lama saja sudah. Nanti kita tidak dapat tempat di dalam.” Pinta Ibuku yang membuka kain penutup pintu kamarku. Kami bergegas untuk menuju mesjid yang lumayan jauh dari rumahku jika ditempuh berjalan kaki. Sepanjang jalan Ibu mengomel karena aku lama sehingga sudah adzan kamipun belum sampai mesjid untuk mengisi shaf pertama. “Kamu sih lama, lihatkan itu mesjid sudah penuh.” Ujar Ibuku melihat teras mesjid sudah dipenuhi jamaah sho...

Cerpen Perempuan dan Lelaki Selempang Emas

Cerpen: Rizki Aldea Arloji mengingatkan bahwa 5 menit lagi waktu yang tersisa untukku agar lekas sampai di tempat karantina. Aku sudah menyiapkannya dari setahun yang lalu saat aku benar-benar ingin mengulang kesalahan silam yang pernah kubuat ketika di sana. Masih saja aku penasaran apa yang menjadi acuan untuk gelar itu. Aku sampai tepat waktu setelah melewati macat yang panjang, satu jam lebih berada dalam mobil yang kutumpangi. Tidak sia-sia membayar mahal akhirnya tidak telat. Ujarku dalam hati. “Ayo dek lekas, kamu telat ya?” Katanya padaku, salah satu senior yang paling di segani. “Udah jangan jadi masalah cepat regestrasi dan ambil nomor kamu di sana.” Setibanya laki-laki yang baik hati membelaku dengan belas kasihan. Aku duduk dalam urutan paling depan, masih sama seperti setahun silam tepatnya bangku dan nomor yang sama menjadi saksi bahwa sampai saat ini aku masih mencintainya. Bukan siapa-siapa hanya orang yang tidak kukenal mengendap sampai sekarang di dalam kepalaku. **...